Pages

Senin, 29 Mei 2017

Pengelolaan Masalah Lingkungan Global



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Masalah lingkungan mulai ramai dibicarakan sejak diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia, pada tanggal 15 Juni 1972. Di Indonesia, tonggak sejarah masalah lingkungan hidup dimulai dengan diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran Bandung pada tanggal 15 – 18 Mei 1972. Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia (laju pertumbuhan penduduk). Pertumbuhan penduduk yang pesat menimbulkan tantangan yang dicoba diatasi dengan pembangunan dan industrialisasi. Namun industrialisasi disamping mempercepat persediaan segala kebutuhan hidup, juga memberi dampak negatif terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran lingkungan.
Pada pertengahan abad ke-20 lahir kesadaran bersama tentang perubahan yang terjadi pada sistem bumi yang mempengaruhi masa depan kehidupan manusia. Ketika sistem bumi sebagai penyangga kehidupan terganggu dan tidak mampu lagi untuk menopang kehidupan dipermukaan planet bumi ini, maka muncullah berbagai permasalahan lingkungan yang akan mengancam kehidupan mahluk hidup di planet bumi. Tekanan pada planet ini sekarang mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengalami percepatan pada skala yang masih baru bagi pengalaman manusia.
Dunia menyaksikan indikasi nyata dari permasalahan lingkungan dan akselerasinya. Berbagai bentuk kekuatan saling berinteraksi dan berkompetisi tidak hanya diantara negara-negara, tapi juga antara generasi. Permasalahan lingkungan yang terjadi akan memberikan dampak pada seluruh permukaan planet bumi sehingga tidak ada satu negarapun yang luput dari dampak tersebut, karena dampak dari perubahan lingkungan melapaui batas administrasi dan geo-politik suatu negara serta tidak memandang negara penyebab atau sumber kerusakan.
Seperti halnya Isu pemanasan global yang sering disebut sebagai isu kini sudah menjadi fakta karena sudah banyak berbagai penelitian yang membuktikan bahwa pemanasan global sudah terjadi. Namun pemanasan global ini  tak luput dari pro-kontra terkait dengan tingkat pemahaman masalah, kondisi sosial ekonomi suatu kawasan, dan politik. Beberapa politikus dunia memandang isu pemanasan global sebagai isu panas untuk mewarnai perdebatan. Biello (2007) mengemukakan, walaupun saat ini sebagian besar politikus dunia berbagi pandangan dan takut akan perubahan iklim, namun dalam tindakan untuk mengantisipasi pemanasan global mereka tidak jarang bersebarangan.
Kalangan yang kontra terhadap pemanasan global berpendapat bahwa tidak ada konsensus bersifat ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global benar-benar nyata terjadi dan dapat menyebabkan perubahan iklim yang bersifat merusak hingga berdampak buruk bagi manusia. Mereka sepakat bahwa:
·         Suhu rata-rata secara global sekitar 0,6°C (>1°F) lebih tinggi dibanding kondisi suhu satu abad yang lalu
·          Kadar CO atmosfer meningkat sekitar 30% melebihi kondisi pada masa 200 tahun yang lalu
·         CO, sama seperti uap air, merupakan gas rumah kaca yang mengalami peningkatan sehingga memanaskan atmosfer.

B.     TUJUAN PENULISAN
·      Untuk mengetahui masalah lingkungan global yang terjadi saat ini
·      Untuk mengetahui pengolahan masalah lingkungan global

C.    RUMUSAN MASALAH
·      Apa saja masalah lingkungan global yang terjadi saat ini?
·      Bagaimana cara menanggulangi masalah lingkungan global?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      MASALAH-MASALAH AKTUAL DALAM LINGKUNGAN GLOBAL
Secara garis besar permasalahan lingkungan global dapat dikategorikan menjadi:
a.      Isu Perubahan Iklim (climate change)
Para peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (Potsdam-Institut für Klimafolgenforschung/PIK) di Jerman menyatakan bahwa musim dingin ekstrem yang terjadi berturut-turut di benua Eropa dalam 10 tahun belakangan ini adalah akibat mencairnya lapisan es di kawasan Artik, dekat Kutub Utara sebagai akibat pemanasan global. Hilangnya lapisan es membuat permukaan laut di Samudera Artik langsung terkena sinar matahari. Energi panas matahari, yang biasanya dipantulkan lagi ke luar angkasa oleh lapisan es berwarna putih, kini terserap oleh permukaan laut, membuat laut di kawasan kutub memanas dan mengubah pola aliran udara di atmosfer. Dalam model komputer, yang dibuat PIK dan dimuat di Journal of Geophysical Research awal bulan Desember 2010, memperlihatkan kenaikan temperature udara di lautan Artik menimbulkan sistem tekanan tinggi. Sistem tekanan tinggi inilah yang membawa udara dingin kutub ke daratan Eropa. Vladimir Petoukhov menyatakan bahwa Anomali ini bisa melipat tigakan probabilitas terjadinya musim dingin yang ekstrem di Eropa dan Asia Utara. Efek aliran udara dingin dari kutub utara itu akan makin parah saat terjadi gangguan pada arus udara panas yang melintasi Samudra Atlantik dan perubahan aktivitas matahari. Para pakar cuaca mengatakan, saat ini arus udara hangat dari pantai timur AS (Gulf Stream) terhalang dan berbelok arah di tengah-tengah Atlantik. Hal ini membuat aliran udara dingin dari Artik dan Eropa Timur tak terbendung masuk ke Eropa Barat. Saat arus dingin ini melintasi Laut Utara dan Laut Irlandia, uap air dari laut tersebut diubah menjadi salju dalam skala sangat besar dan menyebabkan badai salju parah di negara-negara Eropa Barat (Tri Wahono, 2010).
Perubahan iklim yang terjadi telah merubah pola musim panas menjadi semakin panjang, semakin panas dan kering. Sejak tahun 2004 setidaknya sudah 42 persen es di kutub utara semakin menipis dan mencair di setiap musim panas. Hal ini dilaporkan beberapa ilmuwan di lembaga antariksa AS, NASA. Mereka menggambarkan, secara keseluruhan es Laut Kutub Utara menipis sebanyak 7 inci (17.78 centimeter) per tahun sejak tahun 2004, sebanyak 2,2 kaki (0,67 meter) selama empat musim dingin. Es Kutub Utara merupakan salah satu faktor yang menentukan pada pola cuaca dan iklim global, karena perbedaan antara udara dingin di kedua kutub bumi dan udara hangat di sekitar khatulistiwa menggerakkan arus udara dan air, termasuk arus yang memancar. Beberapa ilmuwan Selandia Baru memperingatkan bahwa Kutub Selatan mencair lebih cepat dari perkiraan. Peter Barrett dari Antarctic Research Center, Victoria University mengatakan, jumlah es yang hilang mencapai 75 persen sejak tahun 1996. Hilangnya es global dari Greenland, Antartika dan gletser lain menunjukkan permukaan air laut akan naik antara 80 centimeter dan 2 meter sampai tahun 2100. Tahun 2008 Mark Lynas memprediksi kondisi yang lebih ekstrim, jika kenaikan suhu bumi lebih dari 2,7°C pencairan es akan menaikkan level air laut hingga 6 meter. Journal of Climate American Meteorogical Society’s melaporkan bahwa “temperatur rata-rata permukaan naik 9,3°F atau 5,2°C sampai 2100, kata beberapa ilmuwan di Massasuchusetts Institute of Technology (MIT), dibandingkan studi tahun 2003 yang memperkirakan suhu permukaan rata-rata 4,3°F atau 2,4°C (Cawi Setiawan, 2009).
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil. Perubahan iklim ini akan berdampak terhadap banyak pulau-pulau kecil yang sangat mungkin akan hilang dan tenggelam. Indonesia juga akan kehilangan wilayah-wilayah pesisir dan kota-kota yang berada di wilayah pesisir pada pulau-pulau besar. Secara logis kondisi tersebut akan berdampak terhadap semakin mengecilnya luas wilayah. Jika wailayah pesisir dan pulau-pulau kecil berpenghuni menghilang, maka mau tidak mau penduduknya harus berpindah ke lokasi yang lebih tinggi. Disinyalir pula akan semakin sering terjadi kekeringan yang dapat mengakibatkan musibah gagal panen dan kebakaran, curah hujan semakin ekstrim menyebabkan musibah banjir dan longsor, petani/nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena perubahan iklim semakin sulit diprediksi. Perubahan Iklim semakin kacau, hujan badai angin topan, kekeringan akan semakin sering terjadi, banyak spesies flora dan fauna akan musnah, terutama akibat gagal beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi.
b.       Pemanasan Global (Global Warming)
Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan uap air membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat pemantulan sinar infra merah dan menyebabkan efek rumah kaca. Dengan naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan lebih banyak panas tertekan di dalam atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto 2007).  Pemanasan global akan menimpa bumi dan segenap isinya yang diuraikan oleh Wardhana (2010) sebagai berikut :
·         Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m2dan memanasi bumi.
·         Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh atmosfer.
·         Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer.
·         Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh Gas Rumah Kaca sebesar 30 watt/m2 ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan lingkungan menjadi panas.
Upaya menanggulangi pemanasan global yang dapat kita lakukan tersebut antara lain:
·         Melakukan penghematan listrik
Dengan berhemat listrik, secara tidak langsung kita telah mengurangi kadar CO2 pada lapisan atmosfer karena sebagian besar gas CO2 ini dihasilkan dari pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil.
·         Menanam pohon atau reboisasi
Menanam pohon atau reboisasi merupakan langkah untuk menyeimbangkan kadar gas CO2 di lapisan atmosfer. Karena pohon akan menyerap gas CO2 untuk melakukan proses fotosintesis dan akan melepaskan oksigen ke udara. Dan hal ini akan membuat udara pada lapisan atmosfer lebih sejuk dan pemanasan global sedikit teratasi
·         Tidak menebang pohon di hutan sembarangan
Pohon merupakan tumbuhan yang menyerap gas CO2. Jadi, jika kita menebangnya, apalagi menebang dalam jumlah yang sangat banyak, akan menimbulkan bahaya jika hutan di bumi terus dieksploitasi secara berlebihan, dan dampak pemanasan global pun akan semakin buruk karena tidak ada yang menyerap gas CO2. Dengan mengurangi dampak penebangan hutan secara liar juga kita turut membantu cara menjaga kelestarian hutan yang saat ini banyak mengalami dampak akibat kerusakan hutan.
·         Menggunakan Energi Alternatif
Kita dapat menggunakan energi alternatif guna meminimalisir hal – hal yang dapat menjadi penyebab pemanasan global. Misalnya mengganti pemakaian pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil dengan energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari, panas bumi, angin atau air.
·         Tidak menggunakan alat yang menghasilkan gas CFC
Gas CFC ini biasanya dihasilkan oleh peralatan pendingin udara. Dan perlu diketahui bahwa saat ini CFC menyumbangkan 20% proses terjadinya efek rumah kaca. Maka dari itu, penggunaan CFC harus dihentikan dan menghapus penggunaan CFC secara menyeluruh.
·         Mengurangi penggunaan kendaraan bahan bakar fosil
Kendaraan bahan bakar fosil, seperti mobil atau motor merupakan penyumbang CO2 terbesar di perkotaan. Apalagi jika menggunakan kendaraan pribadi. Dengan banyaknya pemakaian kendaraan pribadi maka akan menyebabkan borosnya penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Tetapi jika kita mengurangi penggunaan kendaraan, maka sedikitnya kita sudah mengurangi emisi karbon dioksida yang dikeluarkan oleh kendaraan tersebut.

·         Melakukan Reuse, Reduce dan Recycle
Reuse merupakan cara pemanfaatan sampah atau memanfaatkan kembali barang yang sudah tidak terpakai atau penggunaan barang – barang yang tidak sekali pakai, jadi barang tersebut masih dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk pemakaian kedua dan seterusnya. Misalnya seperti menggunakan kertas bekas untuk kertas corat-coret atau catatan keperluan sehari hari atau menggunakan sapu tangan yang bisa digunakan kembali daripada menggunakan kertas tissue.
Reduce yaitu melakukan penghematan dan mengurangi sampah. Misalnya hemat dalam menggunakan kertas dan tissue karena kertas dan tissue terbuat dari kayu yang harus ditebang dari pohon di hutan. Atau bisa juga membeli produk yang berlabel ramah lingkungan dan mengurangi pemakaian produk yang dikemas plastik atau styrofoam. Dan berhenti menggunakan semprotan aerosol untuk mengurangi CFC yang akan mengganggu lapisan Ozon bumi.
Recycle yaitu mendaur ulang barang – barang yang sudah tidak dapat digunakan menjadi barang yang memberikan manfaat. Misalnya dengan cara memisahkan barang – barang yang berbahan organik dan bukan organik terlebih dahulu. Lalu yang berbahan organik bisa dimanfaatkan menjadi pupuk kompos dan yang bukan organik seperti botol plastik bisa dikreasikan menjadi kotak pensil atau pot tanaman.
c.       Pencemaran dan perpindahan B3 melintasi batas negara
Menurut peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun mendefinisikan Bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagai zat, energi, dan atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, jumlahnya baik secara langsung atau tidak langsung dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Aktivitas membuang limbah B3 pada awal tahun 1900 tidak menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan dan menjadi perhatian bagi kebanyakan negara di dunia. Tren ini berlanjut hingga era 50-an yang diwarnai dengan semakin beragamnya jenis limbah B3 seiring dengan penemuan dan penggunaan bahan kimia sintetis yang meningkat. Kasus demi kasus pencemaran lingkungan oleh limbah B3 kian marak terjadi dalam kurun waktu 1960 hingga akhir 1970, seperti kasus Love Canal di Amerika dan Minamata Bay di Jepang. Kesadaran dunia akan bahaya yang ditimbulkan oleh limbah B3 serta penolakan terhadap keberadaannya oleh masyarakat dunia mulai tumbuh setelahnya.
Konvensi Basel yang diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tahun 1989 merupakan wujud perhatian dunia internasional dalam mencegah penyelundupan limbah B3 melalui pengaturan perpindahan lintas batas limbah B3. Pada awalnya konvensi ini hanya mengatur tentang adanya kesepakatan antara negara pengekspor dan pengimpor limbah B3 dalam melakukan praktik tersebut. Namun hal ini dirasa kurang melindungi negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan sasaran potensial pembuangan limbah B3. Oleh karena itu, pada Conference of the Parties (COP–2) pada Maret 1994 diusulkanlah Basel Ban Amandement (BBA) yang sepenuhnya melarang ekspor limbah B3 yang selanjutnya ditetapkan melalui Decision III/1 pada COP-3. Larangan ekspor limbah B3 selain berlaku atas kegiatan pembuangan akhir (final disposal), juga berlaku meskipun dengan alasan daur ulang (reuse, recycle, dan recovery).
Namun dalam perjalanannya, BBA kurang mendapat sambutan baik dari negara-negara industri maju (terutama Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru). Sekali lagi, negara-negara maju menunjukkan sikap setengah hati dalam berbagai permasalahan internasional. Komitmen mereka selalu berbanding lurus dengan keuntungan apa yang dapat mereka dapatkan. Hingga COP-9 di Bali tahun 2009 yang lalu, BBA masih berada dalam status tidak mengikat. Dalam Pasal 12 hasil Konvensi Basel dinyatakan bahwa hasil konvensi akan mengikat secara resmi (legally binding) jika sudah diratifikasi tiga perempat negara yang meratifikasi Konvensi Basel.
Bagi negara-negara yang mendukung BBA, pasal tersebut diartikan bahwa dibutuhkan tiga per empat dari total negara penanda tangan BBA pada 1995, yaitu minimal 62 dari 88 negara. Sementara bagi negara-negara yang menolak, pasal tersebut diartikan bahwa dibutuhkan tiga perempat dari total negara penanda tangan saat ini, yaitu minimal 120 dari 170 negara. Hingga saat ini, telah terdapat 69 negara yang meratifikasi BBA, termasuk Indonesia pada Oktober 2005 lalu (Riyadi, M. A. dan C. R. Manuputty. 2008). Perbedaan pandangan tersebut menyebabkan kegiatan ekspor-impor limbah B3 terus berlangsung dan tetap mengancam kelestarian lingkungan di negara-negara miskin dan berkembang.
Komitmen Indonesia dalam memberlakukan pelarangan impor limbah B3 mengalami pasang surut. Sebelum meratifikasi Konvensi Basel pada tahun 1993 melalui Keppres No. 61, secara hukum Indonesia memperbolehkan impor limbah B3. Dengan meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang aktivitas perpindahan lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan teknologi pengolahan di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor limbah B3 untuk tujuan pengolahan.
Diterbitkannya PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3 menegaskan pelarangan impor limbah B3 dengan alasan apa pun. Atas desakan kepentingan industri, melalui PP No. 12/1995 tentang Perubahan PP No. 19/1994 Indonesia kemudian menerapkan pelarangan Impor dengan pengecualian jika dibutuhkan untuk penambahan bahan baku bagi kegiatan industri. Tindakan ini dianggap memberikan peluang berdirinya industri-industri baru yang menggunakan limbah B3 sebagai bahan baku yang disinyalir sebagai modus baru aliran masuk limbah B3 ke Indonesia. Dengan diundangkannya UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 12/1995 dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi (Nurdin, M. 2006).
Dengan diterbitkannya PP No. 18/1999 yang kemudian diubah menjadi PP No. 85/1999, Indonesia akhirnya kembali menetapkan pelarangan  impor limbah B3 secara total dengan alasan apapun. Hingga saat ini, PP tersebut masih berlaku dan menjadi acuan bagi pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18/2008 tentang Persampahan dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Landasan hukum tersebut sangat cukup untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang melarang impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI adalah tindakan yang ilegal.
d.      Kerusakan Lapisan Ozon
Ozon (Oз) adalah senyawa kimia yang memiliki 3 ikatan yang tidak setabil . di atmosfer, ozon terbentuk secara alami dan terletak di lapisan stratosfer. Fungsi dari lapisan ini adalah untuk melindungi bumi dari sinar ultraviolet yang di pancarkan sinar matahari yang berbahaya bagi kehidupan.  Pembentukan dan penguraian molekul – molekul ozon ( O3 ) terjadi secara alami di  atmosfer. Emisi CFC yang mencapai stratosfer yang bersifat stabil menyebabkan laju penguraian molekul – molekul ozon lebih cepat dari pembentukannya, sehingga terbentuk lubang – lubang pada lapisan ozon. Zat kimia buatan manusia yang disebut sebagai ODS ( Ozone Depleting Subtances ) atau BPO ( Bahan Perusak Ozon ) ternyata mampu merusak lapisan ozon sehingga akhirnya lapisan ozon menipis. Hal ini dapat terjadi karena zat kimia buatan tersebut dapat membebaskan atom klorida (CI) yang akan mempercepat lepasnya ikatan O3 menjadi O2. Lapisan ozon yang berkurang disebut sebagai lubang ozon  (ozone hole).
Di perkirakan lubang ozon telah timbul di benua Artik  dan Antartika. Oleh karena itu, PBB menetapkan tanggal 16 september sebagai hari ozon dunia, dengan tujuan agar lapisan ozon terjaga dan tidak mengalami kerusakan yang parah. Rusaknya lapisan ozon yang terus-menerus akan menyebabkan kenaikan radiasi kepada bumi, salah satu radiasi ultra violet yang dapat ditimbulkan akibat itu yaitu kulit manusia bisa terkena kanker kulit yang bisa mematikan.
Dampak yang merugikan akan semakin parah bila kerusakan lapisan ozon terus berlangsung, karena permukaan bumi menjadi lebih terbuka. Untuk setiap 10 persen penipisan lapisan ozon akan menyebabkan kenaikan radiasi Ultra Violet (UV) sebesar 20 persen. Dampak radiasi UV pada manusia bisa menyebabkan kerusakan mata, meluasnya penyakit infeksi dan peningkatan kasus kanker kulit, vaksinasi terhadap sejumilah penyakit menjadi kurang efektif.
Selain itu juga dapat memicu reaksi fotokimia yang menghasilkan asap beracun, dan hujan asam. Radiasi UV juga menurunkan kemampuan sejumlah organisme dalam menyerap C02 yang merupakan salah satu gas rumah kaca, sehingga konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat dan menyebabkan pemanasan global.
Penipisan lapisan ozon dijadikan sebagai isu internasional Oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  untuk lingkungan hidup, United Nations Environment Programme (UNEP) sejak tahun 1987. Atas permintaan “United Nations Environment Programme” (UNEP), WMO Memulai penyelidikan ozon global dan proyek pemantauan untuk  mengkoordinasi pemantauan dan penyelidikan ozon dalam jangka panjang. Semua data dari penelitian pemantauan di seluruh dunia diantarkan ke Pusat Data Ozon Dunia di Toronto, Kanada, yang tersedia kepada masyarakat ilmiah internasional.
Pada tahun 1977, pertemuan pakar UNEP mengambil tindakan Rencana Dunia terhadap lapisan ozon, dengan ditandatanganinya Protokol Montreal pada tahun 1987, suatu perjanjian untuk perlindungan terhadap lapisan ozon. Protokol ini kemudian diratifikasi oleh 36 negara termasuk Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1990 diumumkan pelarangan total terhadap penggunaan CFC sejak diusulkan oleh Komunitas Eropa (sekarang Uni Eropa) pada tahun 1989, yang juga disetujui oleh Presiden Amerika Serikat, George Bush.
Untuk memonitor berkurangnya ozon secara global, National Aeronautics and Space Administration (NASA) meluncurkan Satelit Peneliti Atmosfer. Satelit dengan berat 7 ton ini mengorbit pada ketinggian 600 km (372 mil) untuk mengukur variasi ozon pada berbagai ketinggian dan menyediakan gambaran jelas pertama tentang kimiawi atmosfer di atas.
Perhatian negara-negara di dunia terhadap penipisan lapisan ozon sebenarnya sudah ada sebelum lahirnya Protokol Montreal. Yaitu dengan terciptanya kebijakan dalam perlindungan lapisan ozon pada tahun 1981 melalui keputusan UNEP Governing Council, merupakan kelompok kerja yang beranggotakan wakil dari beberapa negara. Kelompok kerja ini menyusun suatu konsep “Konvensi untuk Perlindungan Lapisan Ozon.”
Sampai kemudian pada tahun 1985 dokumen ini dikenal dengan Konvensi Wina, yang berisikan tentang perlindungan terhadap lapisan ozon. Dokumen ini diadopsi oleh negara-negara Uni Eropa serta 21 negara lainnya di dunia. Konvensi Wina merupakan titik awal pergerakan dalam menyelamatkan lapisan ozon. Konvensi Wina merupakan landasan hukum pelaksanaan perlindungan lapisan ozon ditingkat internasional yang mensyaratkan seluruh negara pihak untuk bekerjasama melaksanakan pengamatan, penelitian dan pertukaran informasi guna memperoleh pemahaman yang lebih baik dan mengkaji dampak kegiatan manusia terhadap lapisan ozon serta dampak penipisan lapisan ozon terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Tak lama setelah itu muncul Protokol Montreal pada tanggal 16 September 1987. Protokol Montreal memuat aturan pengawasan produksi, konsumsi dan perdagangan bahan-bahan perusak lapisan ozon. Dalam protokol tersebut tercantum jenis-jenis bahan kimia yang masuk dalam daftar pengawasan serta jadwal penghapusan masing-masing jenis BPO. Protokol Montreal kemudian mengalami penyempurnaan melalui penetapan Amandemen London (1989),Amandemen Kopenhagen (1992), Amandemen Montreal (1997) serta Amandemen Beijing (1999).
Penanggulangan Penipisan Lapisan Ozon oleh Indonesia yaitu pada tahun 1992, Indonesia meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina melalui Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol Montreal. Dilakukannya hal ini sebagai bentuk  upaya Indonesia dalam rangka perlindungan lapisan ozon.
Aksi nyata yang dilakukan seperti penghapusan CFC sebagai salah satu Bahan Perusak Ozon (BPO) pada sektor manufaktur refrigrasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP). Kegiatan proyek  dilaksanakan mulai tahun 2003 sampai 2007 dengan tujuan untuk menghapuskan penggunaan CFC pada industri yang memproduksi alat pendingin. Proyek ini merupakan pelaksanaan Konvensi Wina dan Protokol Montreal.
Penanggulangan Penipisan Lapisan Ozon oleh Masyarakat Dunia merupakan salah satu upaya masyarakat dalam membantu upaya pemerintah untuk menanggulangi menipisnya lapisan ozon yaitu dengan cara penanaman tumbuhan dan pohon-pohon sekaligus melestarikannya. Karena dengan banyaknya pohon, maka banyak pula oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan atau pohon tersebut. Dengan banyaknya kandungan oksigen di udara bebas maka semakin banyak juga ozon yang terbentuk dan naik ke atmosfer. Sehingga membentuk lapisan ozon yang tebal dan stabil keberadaannya.
Mengatasi penipisan ozon bukan hanya tugas dari pemerintah dan menteri lingkungan, tetapi merupakan tugas dan kewajiban setiap orang. Akan tetapi, pemerintah sebagai pengatur system kenegaraan hendaknya memberikan contoh yang baik. Ada baiknya dilakukan penyuluhan mengenai penipisan lapisan ozon serta dampaknya bagi kehidupan. Kemudian menggunakan cara persuasif (ajakan) dan memberdayakan masyarakat membentuk persepsi positif dalam rangka menghilangkan pertentangan dan memotivasi seluruh komponen bangsa ikut aktif mengurangi tingkat emisi. Namun hal yang paling penting dari itu semua adalah kesadaran manusia itu sendiri.
e.       Degradasi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
Keanekaragaman hayati sering diartikan dengan kekayaan jenis spesies mahluk hidup pada suatu daerah. Biodiversitas diukur dalam berupa indeks, metode pengukurannya pun bermacam-macam karena setiap indeks mempunyai asumsi yang berbeda.
Seiring dengan isu perubahan iklim, degradasi biodeversitas merupakan suatu wacana yang sering diasumsikan merupakan dampak akibat perubahan iklim. Menurut Algore (2004) menunjukan bahwa terjadi peningkatan kepunahan spesies sejak terjadinya revolusi industri. Berikut merupakan faktor-faktor penyebab degradasi keanekaragaman hayati :
·      Populasi manusia dan penurunan keanekaragaman hayati
Salah satu faktor yang sering dijadikan isu penyebab terjadinya penurunan keanekaragaman hayati adalah pertambahan populasi manusia
·      Faktor penyebab kepunahan spesies
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kepunahan spesies. Yang sering menjadi fokus penyebab kepunahan spesies adalah berubahnya habitat mahluk hidup yang dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konversi lahan atau perubahan faktor lingkungan.  Dari hasil pengamatan World Conservation Monitoring Center menunjukan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepunahan spesies. Faktor tersebut adalah hilangnya atau berubahnya habitat, eksploitasi, masuknya spesies baru dan lain-lain. Faktor pengaruh berubahnya atau hilangnya habitat akibat dari pengaruh iklim dan alam termasuk kategori lain-lain.
Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah Perjanjian multilateral untuk mengikat para pihak (negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan permasalahan global khususnya keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia selanjutnya. 
Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi Stockholm).
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau
kawasan di luar batas yuridiksi nasional. 
UNCED atau Earth Summit juga begitu penting karena untuk pertama kalinya memberikan kesadaran ke seluruh dunia bahwa masalah lingkungan sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi dan masalah keadilan sosial. Pertemuan ini menegaskan bahwa kebutuhan sosial, lingkungan dan ekonomi harus dipenuhi secara seimbang sehingga hasilnya akan berlanjut hingga generasi-generasi yang akan datang. 
Hasil utamanya adalah Agenda 21, yaitu sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas yang menuntut adanya cara-cara baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21 di seluruh dunia pembangunan akan bersifat berkelanjutan.  Hasil lain UNCED yang membahas tentang keanekaragaman hayati adalah:
1.        Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity). Bagian kedua dari agenda 21 berupa Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan. Bagian ini menekankan pada pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, sumberdaya genetik, spesies, dan ekosistem serta isu-isu penting lainnya. Semuanya memerlukan kajian lebih lanjut bila tujuan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai baik pada tingkat global, nasional dan local. Konvensi ini bertujuan untuk melestarikan beraneka sumber daya genetika/plasma nutfah, spesies, habitat dan ekosistem. Selain itu konvensi juga bertujuan untuk menjamin pemanfaatan secara berkelanjutan berbagai sumber daya hayati dan untuk menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil. Hingga kini telah diratifikasi oleh 180 negara. 
2.        Prinsip-prinsip Rio tentang Hutan ( Rio Forestry Principles). Terdiri dari 15 prinsip yang secara hukum mengikat para pengambil keputusan di tingkat nasional dan internasional dalam rangka perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Meletakkan dasar-dasar proses untuk Konvensi Kehutanan Internasional (International Forestry Convention).
Konvensi mengenai Biodiversity (keanekargaman hayati) dan konvensi Ramsar untuk melindungi berbagai jenis tanaman dan satwa dari kepunahan dan mengelola ekosystem lahan basah (wet land) supaya dapat meberikan hasil guna dari segi ekonomis-sosial-budaya dan kelestariannya tetap terjaga.
Pada    awal    tahun    1990    KLH    telah    menyusun    suatu    Strategi    Nasional    Pengelolaan Keanekaragaman  Hayati  yang  diikuti  dengan  kompilasi  Rencana  Aksi  Keanekaragaman  Hayati (Biodiversity Action Plan of Indonesia - BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 1993. Saat ini BAPPENAS dengan bantuan Global Environment Facilities (GEF) sedang merevisi BAPI melalui  penyusunan  Rencana  Aksi  dan  Strategi  Keanekaragaman  Hayati  Indonesia  (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan – IBSAP). Kegiatan yang melibatkan berbagai instansi terkait dan LSM ini, diharapkan akan selesai pada tahun 2003 ini.
Sementara itu, pemerintah telah juga mengembangkan UU No.  5 Tahun 1994 mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity -   CBD).   KLH   bertindak   sebagai   National   Focal   Point   yang   bertugas   mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional.  Indonesia  juga  telah  meratifikasi  beberapa  konvensi  PBB yang   terkait,   seperti   CITES, RAMSAR,   World   Heritage   Convention   (WHC))   serta   telah menandatangai  Protokol  Cartagena  tentang  Keamanan Hayati.    Pemerintah  juga  berpartisipasi pada kegiatan MAB (Man and Biosphere) yang dikoordinasikan oleh UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia  berpartisipasi  aktif  pada  kegiatan  program  ARCBC  (ASEAN  Regional  Center on Biodiversity Conservation) yang merupakan proyek kerjasama ASEAN-EU dan berkedudukan di Manila.
Beberapa upaya/ aktifitas lain terkait dengan keanekaragaman hayati yang telah dilakukan adalah:
1.   Penetapan kebijakan konservasi  in-situ  and  ex-situ.  Konservasi in-situ  dilaksanakan dengan menetapkan kawasan lindung yang terdiri dari kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat ini Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha dan 30 kawasan  konservasi  laut  dengan  luas  sekitar  4,75  ha.  Dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat (luas ±11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas± 3,7 juta ha). Konservasi ex-situ dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminya. Saat ini ada 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan  2  taman safari, 3  taman  burung, 4 rehabilitasi  lokasi  orang  utan  dan  6  pusat rehabilitasi gajah.  Pelestarian  keragaman  sumber  daya  genetik,  terutama  untuk  tanaman  pertanian  dan ternak dilakukan melalui koleksi plasma nutfah yang dilakukan oleh beberapa balai penelitian di bawah   Departemen   Pertanian.   Konservasi   ex-situ   menghadapi   berbagai   masalah,   yaitu kekurangan  dana,  fasilitas  dan  tenaga  terlatih.  Sebagai  contoh,  berbagai  balai  atau  pusat penelitian  tidak  mempunyai  fasilitas  penyimpanan  jangka  panjang,  sehingga  koleksi  harus ditanam atau ditangkar ulang.
2.   Pada  tahun  2002,  telah  dimulai  suatu  pembahasan  tentang  kemungkinan  Indonesia  untuk meratifikasi Protokol Cartagena dan International Treaty on Genetic Resources for   Food and Agriculture  (ITGRFA)  dalam  rangka  mengantisipasi   dampak  negatif  dari   teknologi  rekayasa genetika  pada  komponen  keanekaragaman  hayati.  
3.   Indonesia  telah  berpartisipasi  di  Kelompok  ”Like  Minded  Megadiversity  Countries  (LMMDC)“ dimulai   sejak   diadopsinya   Deklarasi   Cancun,   di   Mexico, February   2002.   KLH   telah berpartisipasi pada beberapa kali pertemuan   selama  tahun 2002,  yang bertujuan antara  lain untuk  saling  bertukar  pengalaman  dan  mencari  posisi  bersama  dalam  pengembangan  rejim internasional untuk masalah akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya hayati. 
4.   Fase baru kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia   dalam bidang pengelolaan lingkungan berkelanjutan (Sustainable Environmental Management) dimulai kembali akhir tahun dan  akan  berlangsung  selama  5  tahun.  
5.   Upaya  pengendalian  spesies  invasif  telah  mulai  dikembangkan  dengan  menyusun  pedoman untuk pengendalikan species  asing invasif oleh KLH di tahun 2001. Selanjutnya  pada tahun 2002 telah diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif dalam   upaya   untuk    mengangkat   permasalahan   ini   sebagai   langkah    mengantisipasi kemungkinan  kepunahan  spesies  lokal  akibat  dari  masuknya  spesies  asing  yang  tidak diinginkan.


B.       REIMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Penanggulangan masalah lingkungan global kurang komprehensif apabila tidak melibatkan masyarakat dan hanya berupa penanggulangan jangka pendek saja. Salah satu strategi inventatif untuk penyelesaian jangka panjang adalah melalui pendidikan lingkungan hidup. Dalam konteks ini, implementasi pendidikan berwawasan lingkungan dalam pembelajaran di kelas dapat dilakukan dalam bentuk dua pendekatan, yaitu pendekatan infusi (integratif) dan pendekatan block (monolitik) (Judi dan Wood, 1993).
Dalam pendekatan pertama, pendekatan infusi (integratif), bahan kajian lingkungan dipadukan dengan kurikulum yang telah ada melalui mata pelajaran yang ada tanpa memunculkan mata pelajaran baru. Dalam konteks ini, permasalahan lingkungan global tersebut secara tradisional dimasukkan dalam pelajaran IPA, IPS, Bahasa, Kesenian, dan lainlain atau dengan kata lain disisipkan kesemua subjek pelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebaliknya dalam pendekatan block (monolitik), bahan kajian lingkungan disajikan dalam pelajaran khusus berupa mata pelajaran yang berdiri sendiri. Ada dua cara dalam pembelajaran pendekatan block ini, yaitu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, dan di luar kurikulum sekolah. Pendekatan block yang memunculkan mata pelajaran khusus dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah, biasanya berupa mata pelajaran muatan lokal (mulok) (Suroso Mukti Leksono, 2008).
C.      MEMBANGUN PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM ISU LINGKUNGAN GLOBAL
Peran serta masyarakat dalam mengatasi permasalahan isu lingkungan global dapat dilakukan mulai dari proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan suatu kegiatan (Slamet,1993). Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan merupakan tingkatan pelibatan masyarakat yang paling tinggi. Karena dalam proses perencanaan masyarakat sekaligus diajak turut membuat keputusan. Pengertian “membuat keputusan” dalam konteks ini ialah menunjuk secara tidak langsung seperangkat aktivitas tingkah laku yang lebih luas, bukannya sematamata hanya membuat pilihan di antara berbagai alternatif.
Dengan demikian, menurut Schubeler (996: 32) peran serta lebih merupakan proses bukan produk, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, peran serta dapat dilakukan oleh pihak lain dan pentingnya unsur kesediaan masyarakat. Sehingga dari berbagai pandangan bentuk peran serta yang ada maka peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah dapat dikategorikan dalam bentuk sumbangan yaitu material, tenaga dan pikiran, bentuk kegiatan yaitu peran serta dilakukan bersama atau sendiri di lingkungan tempat tinggal masing-masing dan peran serta dikerjakan sendiri oleh masyarakat atau diserahkan pihak lain.
Selain itu peran serta dapat dikenali dari intensitas dan frekuensi kegiatan serta derajat kesukarelaan untuk melakukan kegiatan bersama.



BAB III
PENUTUP
A.      SIMPULAN
Masalah-masalah lingkungan global yang terjadi saat ini dapat dikategorikan menjadi :
a. Isu Perubahan Iklim ( climate change )
b. Pemanasan Global ( global warming )
c.  Pencemaran dan perpindahan B3 melintasi batas negara
d. Kerusakan lapisan ozon (ozon depletion)
e. Degradasi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
       Selain cara penanggulangan yang sudah dijelaskan dalam masing-masing subjudul, penanggulangan lain yang bisa dilakukan adalah  reimplementasi pendidikan berwawasan lingkunagn dan membangun peran serta masyarakat dalam isu lingkungan global. Melaksankan pendidikan tentang lingkungan hidup merupakan penanggulangan jangka panjang sehingga masyarakat bukan hanya mengerti tetapi dapat berperan aktif dalam menanggulangi masalah lingkungan yang terjadi. Dengan demikian dapat tercipta lingkungan yang baik dan lestari yang dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Tarsoen. W. 2009. Pemanasan Global. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/15-pemanasan-global.pdf
Muhyi, Ali. 2011. Pemanasan Global (Global Warming). http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/PEMANASAN-GLOBAL.pdf
Sinaga, Dedi. 1989. Makalah Pemanasan Global. https://bhianrangga.files.wordpress.com/2013/12/makalah-pemanasan-global.pdf
Direktory UPI. Isu Lingkungan Global : Penipisan Ozon Dan Perubahan Iklim. http://www.upliftindonesia.com/media/CEM-seminar/2-Keprihatinan.pdf
Direktory UPU. Isu Lingkungan Global.direktory file upi. isu-isu lingkungan global.file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR.../ISU-ISU_LINGKUNGAN_GLOBAL.pdf
Wahyu, Surakusumah. Isu Lingkungan. file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/.../isu_lingkungan.pdf
Edorita.W. 2014. Aspek Hukum Pengangkutan Limbah B-3 Lintas Batas Negara. download.portalgaruda.org/article.php?...3%20LINTAS%20BATAS%20NEGARA%2
Nurdin, M. 2006. Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) sebagai Ancaman terhadap Lingkung an Laut Indonesia. Legality, 14(1):156–168.
Riyadi, M. A. dan C. R. Manuputty. 2008. Limbah Beracun di Jalur Bebas Hambatan. Majalah Gatra, 30 Juni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar