BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah lingkungan
mulai ramai dibicarakan sejak diselenggarakannya Konferensi PBB tentang
Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia, pada tanggal 15 Juni 1972. Di Indonesia,
tonggak sejarah masalah lingkungan hidup dimulai dengan diselenggarakannya
Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas
Padjajaran Bandung pada tanggal 15 – 18 Mei 1972. Faktor terpenting dalam
permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia (laju pertumbuhan penduduk).
Pertumbuhan penduduk yang pesat menimbulkan tantangan yang dicoba diatasi
dengan pembangunan dan industrialisasi. Namun industrialisasi disamping
mempercepat persediaan segala kebutuhan hidup, juga memberi dampak negatif
terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran lingkungan.
Pada pertengahan abad
ke-20 lahir kesadaran bersama tentang perubahan yang terjadi pada sistem bumi
yang mempengaruhi masa depan kehidupan manusia. Ketika sistem bumi sebagai
penyangga kehidupan terganggu dan tidak mampu lagi untuk menopang kehidupan
dipermukaan planet bumi ini, maka muncullah berbagai permasalahan lingkungan
yang akan mengancam kehidupan mahluk hidup di planet bumi. Tekanan pada planet
ini sekarang mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengalami
percepatan pada skala yang masih baru bagi pengalaman manusia.
Dunia menyaksikan
indikasi nyata dari permasalahan lingkungan dan akselerasinya. Berbagai bentuk
kekuatan saling berinteraksi dan berkompetisi tidak hanya diantara
negara-negara, tapi juga antara generasi. Permasalahan lingkungan yang terjadi
akan memberikan dampak pada seluruh permukaan planet bumi sehingga tidak ada
satu negarapun yang luput dari dampak tersebut, karena dampak dari perubahan
lingkungan melapaui batas administrasi dan geo-politik suatu negara serta tidak
memandang negara penyebab atau sumber kerusakan.
Seperti halnya Isu
pemanasan global yang sering disebut sebagai isu kini sudah menjadi fakta
karena sudah banyak berbagai penelitian yang membuktikan bahwa pemanasan global
sudah terjadi. Namun pemanasan global ini tak luput dari pro-kontra terkait dengan
tingkat pemahaman masalah, kondisi sosial ekonomi suatu kawasan, dan politik.
Beberapa politikus dunia memandang isu pemanasan global sebagai isu panas untuk
mewarnai perdebatan. Biello (2007) mengemukakan, walaupun saat ini sebagian
besar politikus dunia berbagi pandangan dan takut akan perubahan iklim, namun
dalam tindakan untuk mengantisipasi pemanasan global mereka tidak jarang
bersebarangan.
Kalangan yang kontra
terhadap pemanasan global berpendapat bahwa tidak ada konsensus bersifat ilmiah
yang menyatakan bahwa pemanasan global benar-benar nyata terjadi dan dapat
menyebabkan perubahan iklim yang bersifat merusak hingga berdampak buruk bagi
manusia. Mereka sepakat bahwa:
·
Suhu rata-rata secara global sekitar 0,6°C (>1°F)
lebih tinggi dibanding kondisi suhu satu abad yang lalu
·
Kadar CO atmosfer
meningkat sekitar 30% melebihi kondisi pada masa 200 tahun yang lalu
·
CO, sama seperti uap air, merupakan gas rumah kaca yang mengalami
peningkatan sehingga memanaskan atmosfer.
B. TUJUAN
PENULISAN
·
Untuk
mengetahui masalah lingkungan global yang terjadi saat ini
·
Untuk
mengetahui pengolahan masalah lingkungan global
C. RUMUSAN MASALAH
·
Apa saja
masalah lingkungan global yang terjadi saat ini?
·
Bagaimana cara
menanggulangi masalah lingkungan global?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MASALAH-MASALAH AKTUAL DALAM LINGKUNGAN GLOBAL
Secara garis besar permasalahan lingkungan global dapat
dikategorikan menjadi:
a. Isu Perubahan Iklim (climate change)
Para peneliti dari Potsdam
Institute for Climate Impact Research (Potsdam-Institut für
Klimafolgenforschung/PIK) di Jerman menyatakan bahwa musim dingin ekstrem
yang terjadi berturut-turut di benua Eropa dalam 10 tahun belakangan ini adalah
akibat mencairnya lapisan es di kawasan Artik, dekat Kutub Utara sebagai akibat
pemanasan global. Hilangnya lapisan es membuat permukaan laut di Samudera Artik
langsung terkena sinar matahari. Energi panas matahari, yang biasanya
dipantulkan lagi ke luar angkasa oleh lapisan es berwarna putih, kini terserap
oleh permukaan laut, membuat laut di kawasan kutub memanas dan mengubah pola
aliran udara di atmosfer. Dalam model komputer, yang dibuat PIK dan dimuat di
Journal of Geophysical Research awal bulan Desember 2010, memperlihatkan
kenaikan temperature udara di lautan Artik menimbulkan sistem tekanan tinggi.
Sistem tekanan tinggi inilah yang membawa udara dingin kutub ke daratan Eropa. Vladimir
Petoukhov menyatakan bahwa Anomali ini bisa melipat tigakan probabilitas
terjadinya musim dingin yang ekstrem di Eropa dan Asia Utara. Efek aliran udara
dingin dari kutub utara itu akan makin parah saat terjadi gangguan pada arus
udara panas yang melintasi Samudra Atlantik dan perubahan aktivitas matahari.
Para pakar cuaca mengatakan, saat ini arus udara hangat dari pantai timur AS (Gulf
Stream) terhalang dan berbelok arah di tengah-tengah Atlantik. Hal ini
membuat aliran udara dingin dari Artik dan Eropa Timur tak terbendung masuk ke
Eropa Barat. Saat arus dingin ini melintasi Laut Utara dan Laut Irlandia, uap
air dari laut tersebut diubah menjadi salju dalam skala sangat besar dan
menyebabkan badai salju parah di negara-negara Eropa Barat (Tri Wahono, 2010).
Perubahan iklim yang
terjadi telah merubah pola musim panas menjadi semakin panjang, semakin panas
dan kering. Sejak tahun 2004 setidaknya sudah 42 persen es di kutub utara
semakin menipis dan mencair di setiap musim panas. Hal ini dilaporkan beberapa
ilmuwan di lembaga antariksa AS, NASA. Mereka menggambarkan, secara keseluruhan
es Laut Kutub Utara menipis sebanyak 7 inci (17.78 centimeter) per tahun sejak
tahun 2004, sebanyak 2,2 kaki (0,67 meter) selama empat musim dingin. Es Kutub
Utara merupakan salah satu faktor yang menentukan pada pola cuaca dan iklim
global, karena perbedaan antara udara dingin di kedua kutub bumi dan udara
hangat di sekitar khatulistiwa menggerakkan arus udara dan air, termasuk arus
yang memancar. Beberapa ilmuwan Selandia Baru memperingatkan bahwa Kutub
Selatan mencair lebih cepat dari perkiraan. Peter Barrett dari Antarctic
Research Center, Victoria University mengatakan, jumlah es yang hilang
mencapai 75 persen sejak tahun 1996. Hilangnya es global dari Greenland,
Antartika dan gletser lain menunjukkan permukaan air laut akan naik antara 80
centimeter dan 2 meter sampai tahun 2100. Tahun 2008 Mark Lynas memprediksi
kondisi yang lebih ekstrim, jika kenaikan suhu bumi lebih dari 2,7°C pencairan
es akan menaikkan level air laut hingga 6 meter. Journal of Climate American
Meteorogical Society’s melaporkan bahwa “temperatur rata-rata permukaan
naik 9,3°F atau 5,2°C sampai 2100, kata beberapa ilmuwan di Massasuchusetts
Institute of Technology (MIT), dibandingkan studi tahun 2003 yang memperkirakan
suhu permukaan rata-rata 4,3°F atau 2,4°C (Cawi Setiawan, 2009).
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari
pulau-pulau besar dan kecil. Perubahan iklim ini akan berdampak terhadap banyak
pulau-pulau kecil yang sangat mungkin akan hilang dan tenggelam. Indonesia juga
akan kehilangan wilayah-wilayah pesisir dan kota-kota yang berada di wilayah
pesisir pada pulau-pulau besar. Secara logis kondisi tersebut akan berdampak
terhadap semakin mengecilnya luas wilayah. Jika wailayah pesisir dan
pulau-pulau kecil berpenghuni menghilang, maka mau tidak mau penduduknya harus
berpindah ke lokasi yang lebih tinggi. Disinyalir pula akan semakin sering
terjadi kekeringan yang dapat mengakibatkan musibah gagal panen dan kebakaran,
curah hujan semakin ekstrim menyebabkan musibah banjir dan longsor,
petani/nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena perubahan iklim semakin
sulit diprediksi. Perubahan Iklim semakin kacau, hujan badai angin topan,
kekeringan akan semakin sering terjadi, banyak spesies flora dan fauna akan
musnah, terutama akibat gagal beradaptasi terhadap perubahan iklim yang
terjadi.
b.
Pemanasan Global (Global Warming)
Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi
seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan
uap air membiarkan radiasi
surya menembus dan memanasi
bumi, menghambat pemantulan sinar infra merah dan menyebabkan efek rumah kaca.
Dengan naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan lebih banyak panas
tertekan di dalam atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto 2007). Pemanasan global akan menimpa bumi dan
segenap isinya yang diuraikan oleh Wardhana (2010) sebagai berikut :
·
Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160
watt/m2dan
memanasi bumi.
·
Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh
atmosfer.
·
Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan
diteruskan oleh atmosfer.
·
Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh Gas
Rumah Kaca sebesar 30 watt/m2 ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan
lingkungan menjadi panas.
Upaya menanggulangi pemanasan global
yang dapat kita lakukan tersebut antara lain:
·
Melakukan penghematan
listrik
Dengan
berhemat listrik, secara tidak langsung kita telah mengurangi kadar CO2 pada
lapisan atmosfer karena sebagian besar gas CO2 ini dihasilkan dari pembangkit
listrik yang berbahan bakar fosil.
·
Menanam pohon atau reboisasi
Menanam
pohon atau reboisasi merupakan langkah untuk menyeimbangkan kadar gas CO2 di
lapisan atmosfer. Karena pohon akan menyerap gas CO2 untuk melakukan proses
fotosintesis dan akan melepaskan oksigen ke udara. Dan hal ini akan membuat
udara pada lapisan atmosfer lebih sejuk dan pemanasan global sedikit teratasi
·
Tidak menebang pohon di hutan sembarangan
Pohon
merupakan tumbuhan yang menyerap gas CO2. Jadi, jika kita menebangnya, apalagi
menebang dalam jumlah yang sangat banyak, akan menimbulkan bahaya jika hutan di bumi terus dieksploitasi secara
berlebihan, dan dampak pemanasan global pun akan semakin buruk karena
tidak ada yang menyerap gas CO2. Dengan mengurangi dampak penebangan hutan secara liar juga
kita turut membantu cara menjaga kelestarian hutan
yang saat ini banyak mengalami dampak akibat kerusakan hutan.
·
Menggunakan Energi Alternatif
Kita dapat
menggunakan energi alternatif guna meminimalisir hal – hal yang dapat menjadi penyebab pemanasan global.
Misalnya mengganti pemakaian pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil
dengan energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari, panas bumi, angin atau air.
·
Tidak menggunakan alat yang menghasilkan gas CFC
Gas CFC ini
biasanya dihasilkan oleh peralatan pendingin udara. Dan perlu diketahui bahwa
saat ini CFC menyumbangkan 20% proses terjadinya efek rumah kaca.
Maka dari itu, penggunaan CFC harus dihentikan dan menghapus penggunaan CFC
secara menyeluruh.
·
Mengurangi penggunaan kendaraan bahan bakar fosil
Kendaraan
bahan bakar fosil, seperti mobil atau motor merupakan penyumbang CO2 terbesar
di perkotaan. Apalagi jika menggunakan kendaraan pribadi. Dengan banyaknya
pemakaian kendaraan pribadi maka akan menyebabkan borosnya penggunaan bahan
bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Tetapi jika kita
mengurangi penggunaan kendaraan, maka sedikitnya kita sudah mengurangi emisi
karbon dioksida yang dikeluarkan oleh kendaraan tersebut.
·
Melakukan Reuse, Reduce dan Recycle
Reuse
merupakan cara pemanfaatan sampah
atau memanfaatkan kembali barang yang sudah tidak terpakai atau penggunaan
barang – barang yang tidak sekali pakai, jadi barang tersebut masih dapat
digunakan dan dimanfaatkan untuk pemakaian kedua dan seterusnya. Misalnya
seperti menggunakan kertas bekas untuk kertas corat-coret atau catatan
keperluan sehari hari atau menggunakan sapu tangan yang bisa digunakan kembali
daripada menggunakan kertas tissue.
Reduce yaitu
melakukan penghematan dan mengurangi sampah. Misalnya hemat dalam menggunakan
kertas dan tissue karena kertas dan tissue terbuat dari kayu yang harus
ditebang dari pohon di hutan. Atau bisa juga membeli produk yang berlabel ramah
lingkungan dan mengurangi pemakaian produk yang dikemas plastik atau styrofoam.
Dan berhenti menggunakan semprotan aerosol untuk mengurangi CFC yang akan
mengganggu lapisan Ozon bumi.
Recycle
yaitu mendaur ulang barang – barang yang sudah tidak dapat digunakan menjadi
barang yang memberikan manfaat. Misalnya dengan cara memisahkan barang – barang
yang berbahan organik dan bukan organik terlebih dahulu. Lalu yang berbahan
organik bisa dimanfaatkan menjadi pupuk kompos dan yang bukan organik seperti
botol plastik bisa dikreasikan menjadi kotak pensil atau pot tanaman.
c.
Pencemaran dan perpindahan B3
melintasi batas negara
Menurut
peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun mendefinisikan Bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagai
zat, energi, dan atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, jumlahnya
baik secara langsung atau tidak langsung dapat mencemarkan, merusak lingkungan
hidup, membahayakan lingkungan hidup, kelangsungan hidup manusia dan makhluk
hidup lain.
Aktivitas membuang limbah B3 pada awal tahun 1900
tidak menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan
dan menjadi perhatian bagi kebanyakan negara di dunia. Tren ini berlanjut hingga era 50-an yang diwarnai dengan
semakin beragamnya jenis limbah B3 seiring dengan penemuan dan penggunaan bahan
kimia sintetis yang meningkat. Kasus demi kasus pencemaran lingkungan oleh limbah B3 kian marak terjadi
dalam kurun waktu 1960 hingga akhir 1970, seperti kasus Love Canal di Amerika dan Minamata Bay di Jepang. Kesadaran dunia
akan bahaya yang ditimbulkan oleh limbah B3 serta penolakan terhadap
keberadaannya oleh masyarakat dunia mulai tumbuh setelahnya.
Konvensi Basel yang diselenggarakan untuk pertama
kalinya pada tahun 1989 merupakan wujud perhatian dunia internasional dalam
mencegah penyelundupan limbah B3 melalui pengaturan
perpindahan lintas batas limbah B3. Pada awalnya konvensi ini hanya mengatur
tentang adanya kesepakatan antara negara pengekspor dan pengimpor limbah B3
dalam melakukan praktik tersebut. Namun hal ini dirasa kurang melindungi
negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan sasaran potensial pembuangan
limbah B3. Oleh karena itu, pada Conference
of the Parties (COP–2) pada Maret 1994 diusulkanlah Basel Ban Amandement
(BBA) yang sepenuhnya melarang ekspor limbah B3 yang selanjutnya ditetapkan
melalui Decision III/1 pada COP-3.
Larangan ekspor limbah B3 selain berlaku atas kegiatan pembuangan akhir (final disposal), juga berlaku meskipun
dengan alasan daur ulang (reuse, recycle, dan recovery).
Namun dalam perjalanannya, BBA kurang mendapat sambutan baik dari negara-negara industri maju
(terutama Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru).
Sekali lagi, negara-negara maju menunjukkan sikap setengah hati dalam berbagai
permasalahan internasional. Komitmen mereka selalu berbanding lurus dengan
keuntungan apa yang dapat mereka dapatkan. Hingga COP-9 di Bali tahun 2009 yang
lalu, BBA masih berada dalam status tidak mengikat. Dalam Pasal 12 hasil
Konvensi Basel dinyatakan bahwa hasil konvensi akan mengikat secara resmi (legally binding) jika sudah diratifikasi
tiga perempat negara yang meratifikasi Konvensi Basel.
Bagi negara-negara yang mendukung BBA, pasal tersebut
diartikan bahwa dibutuhkan tiga per empat dari total negara penanda tangan BBA
pada 1995, yaitu minimal 62 dari 88 negara. Sementara bagi negara-negara yang
menolak, pasal tersebut diartikan bahwa dibutuhkan tiga perempat dari total
negara penanda tangan saat ini, yaitu minimal 120 dari 170 negara. Hingga saat
ini, telah terdapat 69 negara yang meratifikasi BBA, termasuk Indonesia pada
Oktober 2005 lalu (Riyadi, M. A. dan C. R. Manuputty. 2008). Perbedaan pandangan tersebut menyebabkan
kegiatan ekspor-impor limbah B3 terus berlangsung dan tetap mengancam
kelestarian lingkungan di negara-negara miskin dan berkembang.
Komitmen Indonesia dalam memberlakukan pelarangan
impor limbah B3 mengalami pasang surut. Sebelum meratifikasi Konvensi Basel
pada tahun 1993 melalui Keppres No. 61, secara hukum Indonesia memperbolehkan
impor limbah B3. Dengan meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang aktivitas perpindahan
lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan teknologi pengolahan
di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor limbah B3 untuk tujuan
pengolahan.
Diterbitkannya PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan
Limbah B3 menegaskan pelarangan impor limbah B3 dengan alasan apa pun. Atas
desakan kepentingan industri, melalui PP No. 12/1995 tentang Perubahan PP No.
19/1994 Indonesia kemudian menerapkan pelarangan Impor dengan pengecualian jika
dibutuhkan untuk penambahan bahan baku bagi kegiatan industri. Tindakan ini
dianggap memberikan peluang berdirinya industri-industri baru yang menggunakan
limbah B3 sebagai bahan baku yang disinyalir sebagai modus baru aliran masuk
limbah B3 ke Indonesia. Dengan diundangkannya UU No. 23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 12/1995 dinilai bertentangan dengan
ketentuan yang lebih tinggi (Nurdin, M. 2006).
Dengan
diterbitkannya PP No. 18/1999 yang kemudian diubah menjadi PP No. 85/1999,
Indonesia akhirnya kembali menetapkan pelarangan impor limbah B3 secara total dengan alasan
apapun. Hingga saat ini, PP tersebut masih berlaku dan menjadi acuan bagi
pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula
UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18/2008 tentang
Persampahan dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH). Landasan hukum tersebut sangat cukup untuk menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang melarang impor limbah B3 atau tindakan memasukkan
limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI adalah tindakan yang ilegal.
d.
Kerusakan Lapisan Ozon
Ozon (Oз)
adalah senyawa kimia yang memiliki 3 ikatan yang tidak setabil . di atmosfer,
ozon terbentuk secara alami dan terletak di lapisan stratosfer. Fungsi dari
lapisan ini adalah untuk melindungi bumi dari sinar ultraviolet yang di pancarkan sinar
matahari yang berbahaya bagi kehidupan. Pembentukan dan penguraian
molekul – molekul ozon ( O3 ) terjadi secara alami di
atmosfer. Emisi CFC yang mencapai stratosfer yang bersifat stabil menyebabkan laju penguraian
molekul – molekul ozon lebih cepat dari pembentukannya, sehingga terbentuk
lubang – lubang pada lapisan ozon. Zat kimia buatan manusia yang disebut
sebagai ODS ( Ozone Depleting Subtances ) atau BPO ( Bahan Perusak Ozon )
ternyata mampu merusak lapisan ozon sehingga akhirnya lapisan ozon menipis. Hal
ini dapat terjadi karena zat kimia buatan tersebut dapat membebaskan atom
klorida (CI) yang akan mempercepat lepasnya ikatan O3 menjadi O2.
Lapisan ozon yang berkurang disebut sebagai lubang ozon (ozone
hole).
Di
perkirakan lubang ozon telah timbul di benua Artik dan Antartika. Oleh
karena itu, PBB menetapkan tanggal 16 september sebagai hari ozon dunia, dengan
tujuan agar lapisan ozon terjaga dan tidak mengalami kerusakan yang parah. Rusaknya lapisan ozon yang
terus-menerus akan menyebabkan kenaikan radiasi kepada bumi, salah satu radiasi
ultra violet yang dapat ditimbulkan akibat itu yaitu kulit manusia bisa terkena
kanker kulit yang bisa mematikan.
Dampak yang
merugikan akan semakin parah bila kerusakan lapisan ozon terus berlangsung,
karena permukaan bumi menjadi lebih terbuka. Untuk setiap 10 persen penipisan
lapisan ozon akan menyebabkan kenaikan radiasi Ultra Violet (UV) sebesar 20
persen. Dampak radiasi UV pada manusia bisa menyebabkan kerusakan mata,
meluasnya penyakit infeksi dan peningkatan kasus kanker kulit, vaksinasi
terhadap sejumilah penyakit menjadi kurang efektif.
Selain itu
juga dapat memicu reaksi fotokimia yang menghasilkan asap beracun, dan hujan
asam. Radiasi UV juga menurunkan kemampuan sejumlah organisme dalam menyerap
C02 yang merupakan salah satu gas rumah kaca, sehingga konsentrasi gas rumah
kaca di atmosfer akan meningkat dan menyebabkan pemanasan global.
Penipisan lapisan ozon dijadikan sebagai isu
internasional Oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk lingkungan hidup, United
Nations Environment Programme (UNEP) sejak tahun 1987. Atas permintaan “United Nations Environment
Programme” (UNEP), WMO Memulai penyelidikan ozon
global dan proyek pemantauan untuk
mengkoordinasi
pemantauan dan penyelidikan ozon dalam jangka panjang. Semua data dari
penelitian pemantauan di seluruh dunia diantarkan ke Pusat Data Ozon Dunia di
Toronto, Kanada, yang tersedia kepada masyarakat ilmiah internasional.
Pada tahun 1977,
pertemuan pakar UNEP mengambil tindakan Rencana Dunia terhadap lapisan ozon, dengan ditandatanganinya
Protokol Montreal pada tahun 1987, suatu perjanjian untuk perlindungan terhadap
lapisan ozon. Protokol ini kemudian diratifikasi oleh 36 negara termasuk Amerika Serikat. Kemudian pada
tahun 1990 diumumkan pelarangan total
terhadap penggunaan CFC sejak diusulkan oleh Komunitas Eropa (sekarang Uni
Eropa) pada tahun 1989, yang juga disetujui oleh Presiden Amerika Serikat,
George Bush.
Untuk
memonitor berkurangnya ozon secara global, National Aeronautics and
Space Administration (NASA) meluncurkan Satelit Peneliti Atmosfer. Satelit
dengan berat 7 ton ini
mengorbit pada ketinggian 600 km (372 mil) untuk mengukur variasi ozon pada
berbagai ketinggian dan
menyediakan gambaran jelas pertama tentang kimiawi atmosfer di atas.
Perhatian
negara-negara di dunia terhadap penipisan lapisan ozon sebenarnya sudah ada
sebelum lahirnya Protokol Montreal. Yaitu dengan terciptanya kebijakan dalam perlindungan
lapisan ozon pada tahun 1981 melalui keputusan UNEP Governing Council,
merupakan kelompok kerja yang beranggotakan wakil dari beberapa negara.
Kelompok kerja ini menyusun suatu konsep “Konvensi untuk Perlindungan Lapisan
Ozon.”
Sampai
kemudian pada tahun 1985 dokumen ini dikenal dengan Konvensi Wina, yang
berisikan tentang perlindungan terhadap lapisan ozon. Dokumen ini diadopsi oleh
negara-negara Uni Eropa serta 21 negara lainnya di dunia. Konvensi Wina
merupakan titik awal pergerakan dalam
menyelamatkan lapisan ozon. Konvensi Wina merupakan landasan hukum pelaksanaan
perlindungan lapisan ozon ditingkat internasional yang mensyaratkan seluruh
negara pihak untuk bekerjasama melaksanakan pengamatan, penelitian dan
pertukaran informasi guna memperoleh pemahaman yang lebih baik dan mengkaji
dampak kegiatan manusia terhadap lapisan ozon serta dampak penipisan lapisan
ozon terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Tak
lama setelah itu muncul Protokol Montreal pada tanggal 16 September 1987.
Protokol Montreal memuat aturan pengawasan produksi, konsumsi dan perdagangan
bahan-bahan perusak lapisan ozon. Dalam protokol tersebut tercantum jenis-jenis
bahan kimia yang masuk dalam daftar pengawasan serta jadwal penghapusan
masing-masing jenis BPO. Protokol Montreal kemudian mengalami penyempurnaan
melalui penetapan Amandemen London (1989),Amandemen Kopenhagen (1992),
Amandemen Montreal (1997) serta Amandemen Beijing (1999).
Penanggulangan
Penipisan Lapisan Ozon oleh Indonesia yaitu
pada tahun 1992,
Indonesia meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina melalui Keputusan
Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol
Montreal. Dilakukannya hal ini sebagai bentuk
upaya Indonesia dalam rangka perlindungan lapisan ozon.
Aksi
nyata yang dilakukan seperti penghapusan CFC sebagai salah satu Bahan
Perusak Ozon (BPO) pada sektor manufaktur refrigrasi yang dilaksanakan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan United Nations Development
Programme (UNDP). Kegiatan proyek dilaksanakan mulai tahun 2003 sampai
2007 dengan tujuan untuk menghapuskan penggunaan CFC pada industri yang
memproduksi alat pendingin. Proyek ini merupakan pelaksanaan Konvensi Wina dan
Protokol Montreal.
Penanggulangan
Penipisan Lapisan Ozon oleh Masyarakat Dunia merupakan salah satu upaya masyarakat dalam membantu
upaya pemerintah untuk menanggulangi menipisnya lapisan ozon yaitu dengan cara
penanaman tumbuhan dan pohon-pohon sekaligus melestarikannya. Karena dengan banyaknya pohon, maka banyak
pula oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan atau pohon tersebut. Dengan
banyaknya kandungan oksigen di udara bebas maka semakin banyak juga ozon yang
terbentuk dan naik ke atmosfer. Sehingga membentuk lapisan ozon yang tebal dan
stabil keberadaannya.
Mengatasi penipisan ozon bukan hanya
tugas dari pemerintah dan menteri
lingkungan, tetapi merupakan tugas
dan kewajiban setiap orang. Akan tetapi, pemerintah sebagai pengatur system
kenegaraan hendaknya memberikan contoh yang baik. Ada baiknya dilakukan
penyuluhan mengenai penipisan lapisan ozon serta dampaknya bagi kehidupan.
Kemudian menggunakan cara persuasif (ajakan) dan memberdayakan masyarakat
membentuk persepsi positif dalam rangka menghilangkan pertentangan dan
memotivasi seluruh komponen bangsa ikut aktif mengurangi tingkat emisi. Namun
hal yang paling penting dari itu semua adalah kesadaran manusia itu sendiri.
e.
Degradasi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
Keanekaragaman
hayati sering diartikan dengan kekayaan jenis spesies mahluk hidup pada suatu
daerah. Biodiversitas diukur dalam berupa indeks, metode pengukurannya pun bermacam-macam karena setiap indeks mempunyai
asumsi yang berbeda.
Seiring dengan isu
perubahan iklim, degradasi biodeversitas merupakan suatu wacana yang sering
diasumsikan merupakan dampak akibat perubahan iklim. Menurut Algore (2004)
menunjukan bahwa terjadi peningkatan kepunahan spesies sejak terjadinya
revolusi industri. Berikut merupakan
faktor-faktor penyebab degradasi keanekaragaman hayati :
· Populasi
manusia dan penurunan keanekaragaman hayati
Salah
satu faktor yang sering dijadikan isu penyebab terjadinya penurunan
keanekaragaman hayati adalah pertambahan populasi manusia
· Faktor
penyebab kepunahan spesies
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kepunahan spesies. Yang sering menjadi
fokus penyebab kepunahan spesies adalah berubahnya habitat mahluk hidup yang
dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konversi lahan atau perubahan
faktor lingkungan. Dari hasil pengamatan
World Conservation Monitoring Center
menunjukan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepunahan spesies. Faktor tersebut adalah hilangnya atau
berubahnya habitat, eksploitasi, masuknya spesies baru dan lain-lain. Faktor pengaruh berubahnya atau hilangnya habitat
akibat dari pengaruh iklim dan alam termasuk kategori lain-lain.
Konvensi
Keanekaragaman Hayati adalah
Perjanjian multilateral untuk mengikat para pihak (negara peserta konvensi)
dalam menyelesaikan permasalahan global khususnya keanekaragaman hayati.
Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran umat manusia
atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju
kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk
memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat
manusia selanjutnya.
Secara singkat sejarah
munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil pertemuan KTT Bumi
Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali dari
Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan
merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan
ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi Stockholm).
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah
bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber
daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan
mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan
di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara
lain atau
kawasan di luar batas yuridiksi
nasional.
UNCED atau Earth
Summit juga
begitu penting karena untuk pertama kalinya memberikan kesadaran ke seluruh
dunia bahwa masalah lingkungan sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi dan
masalah keadilan sosial. Pertemuan ini menegaskan bahwa kebutuhan sosial,
lingkungan dan ekonomi harus dipenuhi secara seimbang sehingga hasilnya akan
berlanjut hingga generasi-generasi yang akan datang.
Hasil utamanya adalah
Agenda 21, yaitu sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas yang menuntut
adanya cara-cara baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21 di
seluruh dunia pembangunan akan bersifat berkelanjutan. Hasil lain UNCED yang membahas tentang
keanekaragaman hayati adalah:
1.
Konvensi
Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on
Biological Diversity). Bagian kedua dari agenda 21 berupa
Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan. Bagian ini
menekankan pada pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, sumberdaya genetik,
spesies, dan ekosistem serta isu-isu penting lainnya. Semuanya memerlukan kajian
lebih lanjut bila tujuan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai baik pada
tingkat global, nasional dan local. Konvensi ini bertujuan untuk melestarikan
beraneka sumber daya genetika/plasma nutfah, spesies, habitat dan ekosistem.
Selain itu konvensi juga bertujuan untuk menjamin pemanfaatan secara
berkelanjutan berbagai sumber daya hayati dan untuk menjamin pembagian manfaat
keanekaragaman hayati secara adil. Hingga kini telah diratifikasi oleh 180
negara.
2.
Prinsip-prinsip
Rio tentang Hutan ( Rio Forestry Principles).
Terdiri dari 15 prinsip yang secara hukum mengikat para pengambil keputusan di
tingkat nasional dan internasional dalam rangka
perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara
berkelanjutan. Meletakkan dasar-dasar proses untuk Konvensi Kehutanan
Internasional (International Forestry Convention).
Konvensi mengenai
Biodiversity (keanekargaman hayati) dan konvensi Ramsar untuk melindungi
berbagai jenis tanaman dan satwa dari kepunahan dan mengelola ekosystem lahan
basah (wet land) supaya dapat meberikan hasil guna dari segi
ekonomis-sosial-budaya dan kelestariannya tetap terjaga.
Pada awal
tahun 1990 KLH
telah menyusun suatu
Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
yang diikuti dengan
kompilasi Rencana Aksi
Keanekaragaman Hayati
(Biodiversity Action Plan of Indonesia - BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS
pada tahun 1993. Saat ini BAPPENAS dengan bantuan Global Environment Facilities
(GEF) sedang merevisi BAPI melalui
penyusunan Rencana Aksi
dan Strategi Keanekaragaman Hayati
Indonesia (Indonesian
Biodiversity Strategy and Action Plan – IBSAP). Kegiatan yang melibatkan
berbagai instansi terkait dan LSM ini, diharapkan akan selesai pada tahun 2003
ini.
Sementara itu, pemerintah
telah juga mengembangkan UU No. 5 Tahun
1994 mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United
Nations Convention on Biological Diversity - CBD).
KLH bertindak sebagai
National Focal Point
yang bertugas mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional. Indonesia
juga telah meratifikasi
beberapa konvensi PBB yang
terkait, seperti CITES, RAMSAR, World Heritage
Convention
(WHC)) serta telah menandatangai Protokol
Cartagena tentang Keamanan Hayati. Pemerintah
juga berpartisipasi pada kegiatan
MAB (Man and Biosphere) yang dikoordinasikan
oleh UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia
berpartisipasi aktif pada kegiatan program
ARCBC (ASEAN Regional Center on Biodiversity Conservation)
yang merupakan proyek kerjasama ASEAN-EU dan berkedudukan di Manila.
Beberapa upaya/ aktifitas
lain terkait dengan keanekaragaman hayati yang telah dilakukan adalah:
1. Penetapan kebijakan konservasi in-situ
and ex-situ. Konservasi in-situ dilaksanakan dengan menetapkan kawasan
lindung yang terdiri dari kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat ini
Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta
ha dan 30 kawasan konservasi laut
dengan luas sekitar
4,75 ha. Dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34
tanaman nasional darat (luas ±11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas±
3,7 juta ha). Konservasi ex-situ dilakukan untuk pelestarian spesies di luar
habitat alaminya. Saat ini ada 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114
taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan
2 taman safari, 3 taman
burung, 4 rehabilitasi
lokasi orang utan
dan 6 pusat rehabilitasi gajah. Pelestarian
keragaman sumber daya
genetik, terutama untuk
tanaman pertanian dan ternak dilakukan melalui koleksi plasma
nutfah yang dilakukan oleh beberapa balai penelitian di bawah Departemen
Pertanian. Konservasi ex-situ
menghadapi berbagai masalah,
yaitu kekurangan dana, fasilitas
dan tenaga terlatih.
Sebagai contoh, berbagai
balai atau pusat penelitian tidak
mempunyai fasilitas penyimpanan
jangka panjang, sehingga
koleksi harus ditanam atau
ditangkar ulang.
2. Pada tahun
2002, telah dimulai
suatu pembahasan tentang
kemungkinan Indonesia untuk meratifikasi Protokol Cartagena dan International
Treaty on Genetic Resources for Food
and Agriculture (ITGRFA)
dalam rangka mengantisipasi dampak
negatif dari teknologi
rekayasa genetika pada komponen
keanekaragaman hayati.
3. Indonesia
telah
berpartisipasi di Kelompok
”Like Minded Megadiversity
Countries (LMMDC)“ dimulai sejak
diadopsinya Deklarasi Cancun,
di Mexico, February 2002.
KLH telah berpartisipasi pada
beberapa kali pertemuan selama tahun 2002,
yang bertujuan antara lain
untuk saling bertukar
pengalaman dan mencari posisi
bersama dalam pengembangan
rejim internasional untuk masalah akses dan pembagian keuntungan dari
pemanfaatan sumberdaya hayati.
4. Fase
baru kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia dalam bidang pengelolaan lingkungan
berkelanjutan (Sustainable Environmental Management)
dimulai kembali akhir tahun dan
akan berlangsung selama
5 tahun.
5. Upaya pengendalian
spesies invasif telah
mulai dikembangkan dengan
menyusun pedoman untuk
pengendalikan species asing invasif oleh
KLH di tahun 2001. Selanjutnya pada
tahun 2002 telah diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian
Jenis Asing Invasif dalam upaya untuk
mengangkat permasalahan ini
sebagai langkah mengantisipasi kemungkinan kepunahan
spesies lokal akibat
dari masuknya spesies asing
yang tidak diinginkan.
B.
REIMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Penanggulangan masalah lingkungan global kurang komprehensif apabila tidak
melibatkan masyarakat dan hanya berupa penanggulangan jangka pendek saja. Salah
satu strategi inventatif untuk penyelesaian jangka panjang adalah melalui
pendidikan lingkungan
hidup. Dalam konteks ini, implementasi pendidikan berwawasan lingkungan dalam
pembelajaran di kelas dapat dilakukan dalam bentuk dua pendekatan, yaitu
pendekatan infusi (integratif) dan pendekatan block (monolitik) (Judi
dan Wood, 1993).
Dalam pendekatan
pertama, pendekatan infusi (integratif), bahan kajian lingkungan dipadukan dengan kurikulum yang telah ada melalui mata pelajaran
yang ada tanpa memunculkan mata pelajaran baru. Dalam konteks ini, permasalahan
lingkungan global tersebut secara tradisional dimasukkan dalam pelajaran IPA,
IPS, Bahasa, Kesenian, dan lainlain atau dengan kata lain disisipkan kesemua
subjek pelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebaliknya
dalam pendekatan block (monolitik), bahan kajian lingkungan disajikan
dalam pelajaran khusus berupa mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Ada dua cara dalam pembelajaran pendekatan block ini, yaitu dimasukkan
ke dalam kurikulum sekolah, dan di luar kurikulum sekolah. Pendekatan block
yang memunculkan mata pelajaran khusus dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah,
biasanya berupa mata pelajaran muatan lokal (mulok) (Suroso Mukti Leksono,
2008).
C.
MEMBANGUN PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM ISU LINGKUNGAN
GLOBAL
Peran serta masyarakat dalam mengatasi permasalahan isu lingkungan global
dapat dilakukan mulai dari proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan suatu
kegiatan (Slamet,1993). Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan
merupakan tingkatan pelibatan masyarakat yang paling tinggi. Karena dalam
proses perencanaan masyarakat sekaligus diajak turut membuat keputusan.
Pengertian “membuat keputusan” dalam konteks ini ialah menunjuk secara tidak
langsung seperangkat aktivitas tingkah laku yang lebih luas, bukannya
sematamata hanya membuat pilihan di antara berbagai alternatif.
Dengan demikian, menurut Schubeler (996: 32) peran serta lebih merupakan
proses bukan produk, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, peran
serta dapat dilakukan oleh pihak lain dan pentingnya unsur kesediaan
masyarakat. Sehingga dari berbagai pandangan bentuk peran serta yang ada maka
peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah dapat dikategorikan dalam
bentuk sumbangan yaitu material, tenaga dan pikiran, bentuk kegiatan yaitu
peran serta dilakukan bersama atau sendiri di lingkungan tempat tinggal
masing-masing dan peran serta dikerjakan sendiri oleh masyarakat atau
diserahkan pihak lain.
Selain itu peran serta dapat dikenali dari intensitas dan frekuensi
kegiatan serta derajat kesukarelaan untuk melakukan kegiatan bersama.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Masalah-masalah
lingkungan global yang terjadi saat ini dapat dikategorikan menjadi :
a. Isu Perubahan Iklim ( climate change )
b. Pemanasan Global ( global warming )
c. Pencemaran dan
perpindahan B3 melintasi batas negara
d. Kerusakan lapisan ozon (ozon depletion)
e. Degradasi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
Selain cara penanggulangan
yang sudah dijelaskan dalam masing-masing subjudul, penanggulangan lain yang
bisa dilakukan adalah reimplementasi
pendidikan berwawasan lingkunagn dan membangun peran serta
masyarakat dalam isu lingkungan global. Melaksankan pendidikan tentang
lingkungan hidup merupakan penanggulangan jangka panjang sehingga masyarakat
bukan hanya mengerti tetapi dapat berperan aktif dalam menanggulangi masalah
lingkungan yang terjadi. Dengan demikian dapat tercipta lingkungan yang baik
dan lestari yang dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tarsoen. W.
2009. Pemanasan Global. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/15-pemanasan-global.pdf
Muhyi, Ali.
2011. Pemanasan Global (Global Warming).
http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/PEMANASAN-GLOBAL.pdf
Sinaga, Dedi.
1989. Makalah Pemanasan Global.
https://bhianrangga.files.wordpress.com/2013/12/makalah-pemanasan-global.pdf
USU. 2011. Hujan Asam. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39643/Chapter%20II.pdf?sequence=4
Direktory UPI. Isu Lingkungan Global : Penipisan Ozon Dan
Perubahan Iklim.
http://www.upliftindonesia.com/media/CEM-seminar/2-Keprihatinan.pdf
Direktory UPU. Isu Lingkungan Global.direktory file
upi. isu-isu lingkungan
global.file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR.../ISU-ISU_LINGKUNGAN_GLOBAL.pdf
Wahyu,
Surakusumah. Isu Lingkungan.
file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/.../isu_lingkungan.pdf
Edorita.W. 2014.
Aspek Hukum Pengangkutan Limbah B-3
Lintas Batas Negara. download.portalgaruda.org/article.php?...3%20LINTAS%20BATAS%20NEGARA%2
Nurdin,
M. 2006. Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) sebagai Ancaman terhadap
Lingkung an Laut Indonesia. Legality, 14(1):156–168.
Riyadi,
M. A. dan C. R. Manuputty. 2008. Limbah Beracun di Jalur Bebas Hambatan. Majalah
Gatra, 30 Juni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar