UDANG
SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN AIR
Sungai merupakan salah satu sumber
daya alam yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia
disepanjang aliran sungai. Manfaatannya sebagai sumber air sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu sebagai sarana transportasi, mandi, mencuci
dan sebagainya. Namun sungai dapat menjadi sumber malapetaka apabila tidak
dijaga baik dari segi manfaatnya maupun pengamanannya yang dapat menurunkan
daya gunanya jika pengaruh yang ditumbuhkan dari berbagai aktivitas melebihi
daya dukung sungai atau tercemarnya air oleh zat-zat kimia yang akan mematikan
kehidupan yang ada di sekitarnya dan merusak lingkungan (Subagyo, 1992).
Hampir setiap hari sungai diseluruh dunia
menerima sejumlah besar aliran sedimen baik secara alamiah, buangan industri,
buangan limbah rumah tangga, aliran air permukaan, daerah urban dan pertanian.
Karena aliran tersebut, kebanyakan sungai tidak dapat berubah normal kembali
dari pencemaran karena arus air dapat mempercepat degradasi limbah yang
memerlukan oksigen selama sungai tersebut tidak meluap karena banjir. Degradasi
dan nondegradasi pada arus sungai yang lambat tidak dapat menghilangkan polusi
limbah oleh proses penjernihan alamiah tersebut (Darmono, 2001).
Pencemaran air dapat menyebabkan
berkurangnya keanekaragaman atau punahnya populasi organism perairan. Dengan
menurunnya atau punahnya organisme tersebut maka sistem ekologis perairan dapat
terganggu. Sistem ekologis perairan (ekosistem) mempunyai kemampuan untuk
memurnikan kembali lingkungan yang telah tercemar sejauh beban pencemaran masih
berada dalam batas daya dukung lingkungan yang bersangkutan. Apabila bebab
pencemaran melebihi daya dukung lingkungannya maka kemampuan itu tidak dapat
dipergunakan lagi (Nugroho, 2006).
Baik buruknya suatu perairan
dipengaruhi oleh kegiatan di sekitarnya. Kualitas air yang pada akhirnya akan
mengganggu kehidupan biota air. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memantau
kualitas air, baik secara kimia, fisika, atau biologi. Hasil pengukuran
kualitas air secara kimia dan fisika bersifat terbatas dan kurang memungkinkan
untuk memantau seluruh perubahan variabel yang berkaitan dengan kehidupan
perairan dan kondisi ekologi. Selain itu, cara tersebut memerlukan banyak bahan
kimia dan peralatan serta tenaga yang sangat terlatih sehingga penerapannya
tidak praktis dan mahal, apalagi hasil yang didapat sering berbeda karena
penggunaan metode yang berbeda. Untuk mengatasi ketidakpraktisan pengukuran kualitas
air secara kimia dan fisika, dapat menggunakan biota air sebagai
penentu/bioindikator kualitas air (Wisnu Whardana, 1999).
Logam berat merupakan bahan pencemar
yang paling berbahaya seperti arsen, timbal, tembaga, merkuri, seng, kadmium,
dan nikel. Meskipun jumlahnya sedikit di perairan, namun mempunyai tingkat
toksisitas yang tinggi karena tidak dapat dibiodegradasi dan dapat terakumulasi
dalam jaringan makhluk hidup. Pencemaran logam berat akan cenderung meningkat
sejalan dengan meningkatnya eksploitasi berbagai sumber alam dan berbagai
kegiatan industri yang mengandung logam berat (Palar, 1994).
Untuk mengetahui tingkat pencemaran
di suatu daerah dapat di gunakan bioindikator berupa organisme tertentu yang
khas, yang dapat mengakumulasi bahan-bahan pencemar yang ada, sehingga dapat
mewakili keadaan di dalam lingkungan hidupnya. Bioindikator dalam air yang
dapat digunakan adalah kelompok ikan dan Crustacea
(kepting, udang dan hewan beruas lainnya) dan beberapa jenis biota lainnya.
Udang merupakan salah satu hewan yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat
pencemaran di perairan. Udang termasuk dalam kelas Crustacea yang merupakan Phyllum
dari Anthropoda. Kegiatan yang
dilakukan dapat menurunkan kondisi sungai yang buruk akibat pencemaran membuat
hampir seluruh spesies udang air tawar tidak bisa bertahan. Ketiadaan udang
disungai menjadi indikator alami bahwa air tidak bisa digunakan manusia untuk
kebutuhan sehari-hari (Harian kompas, 2015).
Keanekaragaman jenis udang dalam
suatu perairan menunjukkan kondisi lingkungan perairan tersebut. Adanya
jenis-jenis udang yang lebih beragam mengindikasikan bahwa kondisi perairan
tersebut mendukung bagi kelangsungan hidup populasi jenis udang (Sembiring,
2008). Jenis-jenis udang tidak bisa
hidup di air yang tercemar karena udang sangat sensitif dengan kondisi yang
kurang oksigen dan kelebihan amoniak. Udang air tawar termasuk dalam golongan
makroinvertebrata yang baik digunakan sebagai indikator biologis. Hal ini
karena mobilitas yang relatif rendah dan keberadaanya yang sangat dipengaruhi
secara langsung oleh semua bahan yang masuk kedalam lingkungan perairan
(Tjokrokusumo, 2006).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan
racun logam berat terhadap udang lainnya adalah bentuk ikatan kimia dari logam
yang terlarut dalam air, pengaruh interaksi antara logam dan racun lainnya,
pengaruh lingkungan seperti temperatur, kadar garam, dan pengaruh pH ataupun
kadar oksigen dalam air, kondisi hewan, fase siklus hidup (telur, larva,
dewasa), ukuran organisme, jenis kelamin dan kecukupan kebutuhan bahan,
kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi buruk polusi (misalnya lari untuk
pindah tempat), kemampuan hewan untuk beradaptasi terhadap racun (misalnya
proses detoksifikasi). (Darmono, 1993).
Penyerapan logam oleh Crustacea akan
diakumulasi pada jaringan tubuhnya terutama pada hepatopankreas dan insang (Bambang et al.,1995). Insang berperan pada
proses respirasi, keseimbangan asam basa, regulasi ionik dan osmotik karena
adanya jaringan epithelium branchial yang menjadi tempat berlangsungnya
transport aktif antara organisme dan lingkungan (Soegianto et al, 1999). Hyperlasia pada insang diduga diakibatkan adanya kontak dengan ion
tembaga. Kontak tersebut mengakibatkan organ insang mengalami iritasi dan
mengeluarkan mukus (lendir) sebagai perlindungan terhadap toksikan tembaga,
akan tetapi mukus yang dihasilkan justru menutup permukaan lamella insang
sehingga pertukaran O2 dengan CO2 terhambat, akibatnya tidak ada pengikatan
oksigen oleh hemoglobin darah. Hal ini menyebabkan transportasi oksigen ke
seluruh tubuh tidak ada. Sorensen (1991) menambahkan bahwa bereaksinya logam berat
pada insang akan menghasilkan gumpalan lendir sehingga insang akan terselimuti
gumpalan lendir dan akan sulit bernafas.
Hyperplasia ini dapat terjadi akibat
berbagai polutan kimia dan logam berat terutama tembaga kadmium, merkuri cuprum
dan zinc. Biota perairan yang terpapar oleh logam berat, deterjen, amoniak,
pestisida, dan nitrofenol memperlihatkan pemisahan antara sel epitelium dan
sistim yang mendasari sel tiang yang dapat mengarah kepada runtuhnya keutuhan
dari struktur lamella sekunder dan dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel-sel
klorid (Olurin, 2006).
Kerusakan lainnya pada insang udang
yaitu berupa nekrosis. Nekrosis yang dimaksud adalah kematian sel, yang
mengakibatkan jaringan insang tidak berbentuk utuh lagi. Pada kejadian ini
lamella mengalami kerusakan parah dan termasuk dalam kategori pencemaran berat.
Menurut Plumb (1994), nekrosis
ditandai dengan adanya kematian sel-sel atau jaringan yang menyertai degenerasi
sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel.
Karakteristik dari jaringan nekrotik, yaitu memiliki warna yang lebih pucat
dari warna normal, hilangnya daya rentang (jaringan menjadi rapuh dan mudah
terkoyak), atau memiliki konsistensi yang buruk atau pucat. Nekrosis juga dapat
disebabkan oleh agen-agen biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit),
agen-agen kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada
jaringan tubuh.
Tingginya kerusakan pada
struktur insang dan hepatopankreas, akan berpengaruh pada proses metabolisme
enzim dan osmoregulasi pada udang. Selain itu kerusakan pada sel yang di
sebabkan oleh keracunan logam Cu atau
faktor lain, sebagai contoh yaitu kondisi stress, bisa meningkatkan
sensitivitas terhadap inveksi viral dan bakteri (Sniezsko, 1974). Hal ini dapat
dengan cepat meningkatkan tingkat resiko kematian pada udang.
Menurut penelitian yang
dilakukan oleh badan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
dipublikasikan tahun 2009. Di Sungai Ciliwung, di bagian tengah hingga hilir,
tidak temukan satu pun jenis udang. Tandanya air di Sungai Ciliwung tak
berkualitas bagi manusia. Catatan tahun 1890, ada 18 jenis Crustacea (kepiting dan udang) asli di DAS Ciliwung. Laporan 2009,
jumlah Crustacea tinggal enam jenis atau hilang 66,7 persen. Dari enam jenis,
tiga di antaranya jenis udang. Sungai Ciliwung bersama Sungai
Cisadane berawal dari kompleks pegunungan di
selatan Bogor, di Pegunungan
Gede-Pangrango dan Halimun-Salak. Di daerah hulu, masih ditemukan satu jenis
udang, yaitu Macrobrachium pilimanus,
udang M pilimanus, udang M sintangense (udang regang atau
sintang), dan M lanchesteri di
Bojong Baru hingga Pondok Cina, yakni bagian Ciliwung dengan arus tak terlalu
deras. Di daerah hilir, mulai Condet hingga muara Ciliwung di Sunda Kelapa sama
sekali tidak ditemukan Crustacea
(Daisy Wowor, peneliti karsinologi (mempelajari kepiting dan udang) LIPI
sekaligus koordinator studi 2009).
Dalam pencemaran air lain
seperti di Daerah Aliran Sungai Dumai di Jalan Ombak Lama
bermuara dari DAS Sungai Dumai Jalan Teduh, Pangkalan
Sesai, Dumai Barat, Provinsi Riau, pencemran yang diduga dikarenakan pencemran
air oleh Pabrik Industri yang berada di Pelabuhan Indonesia ( Pelindo) Cabang 1
Kota Dumai. Kepunahan udang diduga karena pencemaran
Lingkungan akibat limbah industri yang dibenarkan atau tidak telah membuat
Pantai atau Lumpur di sepanjang Pesisir Laut Kota Dumai cukup Tercemari.
Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa udang dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran di
perairan. Di perairan yang sudah tercemar, spesies udang berkurang bahkan mati
karena tidak bisa bertahan hidup. Sedangkan diperairan yang tidak tercemar,
udang bisa bertahan hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
Wardhana, wisnu. 1999. Perubahan
Lingkungan PeRairan Dan Pengaruhnya Terhadap Biota Akuatik. http://staff.ui.ac.id/system/files/users/wisnu-97/material/indeksbiotik.pdf. diakses
pada 24 April 2017
Heny, 2016. Bahan
Logam Berbahaya. http://halosehat.com/farmasi/logam/bahaya-logam-berat. diakses
pada 24 April 2017
Kompas. 2015. Udang
Tawar Indikator Alami Mutu Sungai. http://sains.kompas.com/read/2015/07/23/04000021/Udang.Tawar.Indikator.Alami.Mutu.Sungai.diakses
pada 24 April 2017
Mardian, Anugrah Hadiputra, dkk. 2013. Kajian
Potensi Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Tembaga (Cu)
Di Kawasan Ekosistem Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya. http://mmt.its.ac.id/download/SEMNAS/SEMNAS%20XVIII/MTL/14.%20Prosiding%20Mardian%20Anugrah%20H-OK.pdf. Diakses pada 21 April 2017
Daryanto, dkk. 2015. Jenis-Jenis Udang Air Tawar. online-journal.unja.ac.id.
diakses pada 20 April 2017
Wikipedia.
Krustasea. https://id.wikipedia.org/wiki/Krustasea.diakses
pada 23 April 2017
Kelompok
B. 2011. Hispatologi Udang.
media.unpad.ac.id/thesis/230110/.../230110090072_2_2367.pdf. diakses pada 23
April 2017
Nugroho, A. (2006). Bioindikator Kualitas Air.
Universitas Trisakti. Jakarta.
Ramzi. 2016. Keberadaan
Udang Di Sungai Yang Tercemar. http://www.lenteraputih.com/2016/06/udang-sungai-dumai-mulai-punah.html. diakses
pada 25 April 2017
Rijal. A. 2011. Hiperplasia
Pada Udang. repository.unhas.ac.id/.../BAB%20I%20hingga%20BAB%20V.doc.diakses
pada 25 April 2017
Yudiati. A. 2012. Dampak Pemaparan Logam Berat. www.ejournal.undip.ac.id/index.php/ijms/article/download/.../1386. Diakses pada 25 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar