Pages

Senin, 29 Mei 2017

Bioindikator Pencemaran Air


UDANG SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN AIR

Sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia disepanjang aliran sungai. Manfaatannya sebagai sumber air sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu sebagai sarana transportasi, mandi, mencuci dan sebagainya. Namun sungai dapat menjadi sumber malapetaka apabila tidak dijaga baik dari segi manfaatnya maupun pengamanannya yang dapat menurunkan daya gunanya jika pengaruh yang ditumbuhkan dari berbagai aktivitas melebihi daya dukung sungai atau tercemarnya air oleh zat-zat kimia yang akan mematikan kehidupan yang ada di sekitarnya dan merusak lingkungan (Subagyo, 1992).
 Hampir setiap hari sungai diseluruh dunia menerima sejumlah besar aliran sedimen baik secara alamiah, buangan industri, buangan limbah rumah tangga, aliran air permukaan, daerah urban dan pertanian. Karena aliran tersebut, kebanyakan sungai tidak dapat berubah normal kembali dari pencemaran karena arus air dapat mempercepat degradasi limbah yang memerlukan oksigen selama sungai tersebut tidak meluap karena banjir. Degradasi dan nondegradasi pada arus sungai yang lambat tidak dapat menghilangkan polusi limbah oleh proses penjernihan alamiah tersebut (Darmono, 2001).
Pencemaran air dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman atau punahnya populasi organism perairan. Dengan menurunnya atau punahnya organisme tersebut maka sistem ekologis perairan dapat terganggu. Sistem ekologis perairan (ekosistem) mempunyai kemampuan untuk memurnikan kembali lingkungan yang telah tercemar sejauh beban pencemaran masih berada dalam batas daya dukung lingkungan yang bersangkutan. Apabila bebab pencemaran melebihi daya dukung lingkungannya maka kemampuan itu tidak dapat dipergunakan lagi (Nugroho, 2006).
Baik buruknya suatu perairan dipengaruhi oleh kegiatan di sekitarnya. Kualitas air yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan biota air. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memantau kualitas air, baik secara kimia, fisika, atau biologi. Hasil pengukuran kualitas air secara kimia dan fisika bersifat terbatas dan kurang memungkinkan untuk memantau seluruh perubahan variabel yang berkaitan dengan kehidupan perairan dan kondisi ekologi. Selain itu, cara tersebut memerlukan banyak bahan kimia dan peralatan serta tenaga yang sangat terlatih sehingga penerapannya tidak praktis dan mahal, apalagi hasil yang didapat sering berbeda karena penggunaan metode yang berbeda. Untuk mengatasi ketidakpraktisan pengukuran kualitas air secara kimia dan fisika, dapat menggunakan biota air sebagai penentu/bioindikator kualitas air (Wisnu Whardana, 1999).
Logam berat merupakan bahan pencemar yang paling berbahaya seperti arsen, timbal, tembaga, merkuri, seng, kadmium, dan nikel. Meskipun jumlahnya sedikit di perairan, namun mempunyai tingkat toksisitas yang tinggi karena tidak dapat dibiodegradasi dan dapat terakumulasi dalam jaringan makhluk hidup. Pencemaran logam berat akan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya eksploitasi berbagai sumber alam dan berbagai kegiatan industri yang mengandung logam berat (Palar, 1994).
Untuk mengetahui tingkat pencemaran di suatu daerah dapat di gunakan bioindikator berupa organisme tertentu yang khas, yang dapat mengakumulasi bahan-bahan pencemar yang ada, sehingga dapat mewakili keadaan di dalam lingkungan hidupnya. Bioindikator dalam air yang dapat digunakan adalah kelompok ikan dan Crustacea (kepting, udang dan hewan beruas lainnya) dan beberapa jenis biota lainnya. Udang merupakan salah satu hewan yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran di perairan. Udang termasuk dalam kelas Crustacea yang merupakan Phyllum dari Anthropoda. Kegiatan yang dilakukan dapat menurunkan kondisi sungai yang buruk akibat pencemaran membuat hampir seluruh spesies udang air tawar tidak bisa bertahan. Ketiadaan udang disungai menjadi indikator alami bahwa air tidak bisa digunakan manusia untuk kebutuhan sehari-hari (Harian kompas, 2015).
Keanekaragaman jenis udang dalam suatu perairan menunjukkan kondisi lingkungan perairan tersebut. Adanya jenis-jenis udang yang lebih beragam mengindikasikan bahwa kondisi perairan tersebut mendukung bagi kelangsungan hidup populasi jenis udang (Sembiring, 2008).  Jenis-jenis udang tidak bisa hidup di air yang tercemar karena udang sangat sensitif dengan kondisi yang kurang oksigen dan kelebihan amoniak. Udang air tawar termasuk dalam golongan makroinvertebrata yang baik digunakan sebagai indikator biologis. Hal ini karena mobilitas yang relatif rendah dan keberadaanya yang sangat dipengaruhi secara langsung oleh semua bahan yang masuk kedalam lingkungan perairan (Tjokrokusumo, 2006).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan racun logam berat terhadap udang lainnya adalah bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut dalam air, pengaruh interaksi antara logam dan racun lainnya, pengaruh lingkungan seperti temperatur, kadar garam, dan pengaruh pH ataupun kadar oksigen dalam air, kondisi hewan, fase siklus hidup (telur, larva, dewasa), ukuran organisme, jenis kelamin dan kecukupan kebutuhan bahan, kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi buruk polusi (misalnya lari untuk pindah tempat), kemampuan hewan untuk beradaptasi terhadap racun (misalnya proses detoksifikasi). (Darmono, 1993).
Penyerapan logam oleh Crustacea akan diakumulasi pada jaringan tubuhnya terutama pada hepatopankreas dan insang (Bambang et al.,1995). Insang berperan pada proses respirasi, keseimbangan asam basa, regulasi ionik dan osmotik karena adanya jaringan epithelium branchial yang menjadi tempat berlangsungnya transport aktif antara organisme dan lingkungan (Soegianto et al, 1999). Hyperlasia pada insang diduga diakibatkan adanya kontak dengan ion tembaga. Kontak tersebut mengakibatkan organ insang mengalami iritasi dan mengeluarkan mukus (lendir) sebagai perlindungan terhadap toksikan tembaga, akan tetapi mukus yang dihasilkan justru menutup permukaan lamella insang sehingga pertukaran O2 dengan CO2 terhambat, akibatnya tidak ada pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah. Hal ini menyebabkan transportasi oksigen ke seluruh tubuh tidak ada. Sorensen (1991) menambahkan bahwa bereaksinya logam berat pada insang akan menghasilkan gumpalan lendir sehingga insang akan terselimuti gumpalan lendir dan akan sulit bernafas.
Hyperplasia ini dapat terjadi akibat berbagai polutan kimia dan logam berat terutama tembaga kadmium, merkuri cuprum dan zinc. Biota perairan yang terpapar oleh logam berat, deterjen, amoniak, pestisida, dan nitrofenol memperlihatkan pemisahan antara sel epitelium dan sistim yang mendasari sel tiang yang dapat mengarah kepada runtuhnya keutuhan dari struktur lamella sekunder dan dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel-sel klorid (Olurin, 2006).
Kerusakan lainnya pada insang udang yaitu berupa nekrosis. Nekrosis yang dimaksud adalah kematian sel, yang mengakibatkan jaringan insang tidak berbentuk utuh lagi. Pada kejadian ini lamella mengalami kerusakan parah dan termasuk dalam kategori pencemaran berat.
Menurut Plumb (1994), nekrosis ditandai dengan adanya kematian sel-sel atau jaringan yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Karakteristik dari jaringan nekrotik, yaitu memiliki warna yang lebih pucat dari warna normal, hilangnya daya rentang (jaringan menjadi rapuh dan mudah terkoyak), atau memiliki konsistensi yang buruk atau pucat. Nekrosis juga dapat disebabkan oleh agen-agen biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agen-agen kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada jaringan tubuh.
Tingginya kerusakan pada struktur insang dan hepatopankreas, akan berpengaruh pada proses metabolisme enzim dan osmoregulasi pada udang. Selain itu kerusakan pada sel yang di sebabkan oleh keracunan logam Cu atau faktor lain, sebagai contoh yaitu kondisi stress, bisa meningkatkan sensitivitas terhadap inveksi viral dan bakteri (Sniezsko, 1974). Hal ini dapat dengan cepat meningkatkan tingkat resiko kematian pada udang.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh badan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan dipublikasikan tahun 2009. Di Sungai Ciliwung, di bagian tengah hingga hilir, tidak temukan satu pun jenis udang. Tandanya air di Sungai Ciliwung tak berkualitas bagi manusia. Catatan tahun 1890, ada 18 jenis Crustacea (kepiting dan udang) asli di DAS Ciliwung. Laporan 2009, jumlah Crustacea tinggal enam jenis atau hilang 66,7 persen. Dari enam jenis, tiga di antaranya jenis udang. Sungai Ciliwung bersama Sungai Cisadane berawal dari kompleks pegunungan di selatan Bogor, di Pegunungan Gede-Pangrango dan Halimun-Salak. Di daerah hulu, masih ditemukan satu jenis udang, yaitu Macrobrachium pilimanus, udang M pilimanus, udang M sintangense (udang regang atau sintang), dan M lanchesteri di Bojong Baru hingga Pondok Cina, yakni bagian Ciliwung dengan arus tak terlalu deras. Di daerah hilir, mulai Condet hingga muara Ciliwung di Sunda Kelapa sama sekali tidak ditemukan Crustacea (Daisy Wowor, peneliti karsinologi (mempelajari kepiting dan udang) LIPI sekaligus koordinator studi 2009).
Dalam pencemaran air lain seperti di Daerah Aliran Sungai Dumai di Jalan Ombak Lama bermuara dari DAS Sungai Dumai Jalan Teduh, Pangkalan Sesai, Dumai Barat, Provinsi Riau, pencemran yang diduga dikarenakan pencemran air oleh Pabrik Industri yang berada di Pelabuhan Indonesia ( Pelindo) Cabang 1 Kota Dumai. Kepunahan udang diduga karena pencemaran Lingkungan akibat limbah industri yang dibenarkan atau tidak telah membuat Pantai atau Lumpur di sepanjang Pesisir Laut Kota Dumai cukup Tercemari.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa udang dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran di perairan. Di perairan yang sudah tercemar, spesies udang berkurang bahkan mati karena tidak bisa bertahan hidup. Sedangkan diperairan yang tidak tercemar, udang bisa bertahan hidup.



DAFTAR PUSTAKA
Wardhana, wisnu. 1999. Perubahan Lingkungan PeRairan Dan Pengaruhnya Terhadap Biota Akuatik. http://staff.ui.ac.id/system/files/users/wisnu-97/material/indeksbiotik.pdf. diakses pada 24 April 2017
Heny, 2016. Bahan Logam Berbahaya. http://halosehat.com/farmasi/logam/bahaya-logam-berat. diakses pada 24 April 2017
Mardian, Anugrah Hadiputra, dkk. 2013. Kajian Potensi Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Tembaga (Cu) Di Kawasan Ekosistem Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya. http://mmt.its.ac.id/download/SEMNAS/SEMNAS%20XVIII/MTL/14.%20Prosiding%20Mardian%20Anugrah%20H-OK.pdf. Diakses pada 21 April 2017
Daryanto, dkk. 2015. Jenis-Jenis Udang Air Tawar. online-journal.unja.ac.id. diakses pada 20 April 2017
Kelompok B. 2011. Hispatologi Udang. media.unpad.ac.id/thesis/230110/.../230110090072_2_2367.pdf. diakses pada 23 April 2017
Nugroho, A. (2006). Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta.
Ramzi. 2016. Keberadaan Udang Di Sungai Yang Tercemar. http://www.lenteraputih.com/2016/06/udang-sungai-dumai-mulai-punah.html. diakses pada 25 April 2017
Rijal. A. 2011. Hiperplasia Pada Udang. repository.unhas.ac.id/.../BAB%20I%20hingga%20BAB%20V.doc.diakses pada 25 April 2017
Yudiati. A. 2012. Dampak Pemaparan Logam Berat. www.ejournal.undip.ac.id/index.php/ijms/article/download/.../1386. Diakses pada 25 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar