BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PEMUKIMAN KUMUH
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia No 4 tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan, misalnya pendidikan, pasar,
transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan keuangan, dan administrasi.
Sedangkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Tumbuhnya pemukiman kumuh
merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi yang tinggi, masyarakat
berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari nafkah.
Hidup di kota sebagai
warga dengan mata pencaharian terbanyak pada sektor
informal.
Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada urbanisasi
penduduk
dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu ke kota lainnya. Hal ini disebabkan
oleh lahan pertanian di mana mereka tinggal, sudah terbatas, bahkan kondisi
desapun tidak dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus bertambah,
sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu menampung,
karena
lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya pemanfaatan ruang
yang
tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan kualitas lingkungan bahkan
kawasan pemukiman, terutama di daerah perkotaan yang padat penghuni, berdekatan
dengan kawasan industri, kawasan bisnis, kawasan pesisir dan pantai yang dihuni
oleh keluarga para nelayan, serta di bantaran sungai, dan bantaran rel kereta
api.
Kumuh adalah kesan atau
gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari
standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Herbert J Gans mengungkapkan
bahwa, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan
atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
Kumuh dapat ditempatkan
sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan sebagai
akibat.
Kata kumuh sangat identik dengan hal yang negatif dan kotor. Pemahaman kumuh
dapat ditinjau dari:
a. Sebab
Kumuh
Kumuh adalah kemunduran
atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari:
·
Segi fisik, yaitu
gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara.
·
Segi
masyarakat/sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri
seperti kepadatan lalu
lintas, sampah.
b. Kumuh
adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala antara lain:
·
Kondisi perumahan
yang buruk
·
Penduduk yang
terlalu padat
·
Fasilitas
lingkungan yang kurang memadai
·
Tingkah laku
menyimpang
·
Budaya kumuh
·
Apati dan isolasi
Pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian
atau tempat tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi sebagai rumah
tinggal dan sebagai sarana pembinaan keluarga, tetapi tidak layak huni ditinjau
dari tingkat kepadatan penduduk, sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan,
kesehatan serta sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.
2.2
KATEGORI LINGKUNGAN KUMUH
Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan kondisi
hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan
prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air
bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka,
serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
Ciri-ciri
pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1984)
adalah:
·
Fasilitas
umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
·
Kondisi
hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya mencerminkan penghuninya
yang kurang mampu atau miskin.
·
Adanya
tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang
yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata
ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
·
Pemukiman
kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri
dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai sebuah
komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan
sebagai hunian liar, satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah
Rukun Tetangga, atau sebuah Rukun Warga
dan sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah Rukun
Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan
bukan hunian liar.
·
Penghuni
pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai
mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal
muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan
sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
·
Sebagian
besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal
atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.
Menurut
Sinulingga (2005) ciri kampung/pemukiman kumuh terdiri dari:
·
Penduduk
sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan
bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul
masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi
memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.
·
Jalan-jalan
sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya,
kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah
bersinggungan satu sama lain.
·
Fasilitas
drainase sangat tidak memadai, jalan-jalan tidak ada drainase sehingga apabila
hujan dikawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.
·
Fasilitas
pembuangan air kotor/tinja sangat minim. Ada yang langsung membuang tinjanya ke
saluran yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai
yang terdekat.
·
Fasilitas
penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur, dangkal, air hujan
atau membeli secara kalengan.
·
Tata
bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umumnya tidak permanen
dan banyak yang darurat.
·
Kondisi
pada kawasan kumuh sangat rawan terhadap penularan penyakit.
·
Pemilikan
hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih merupakan
tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
Dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman, yang menyatakan bahwa:
“......untuk mendukung terwujudnya lingkungan pemukiman yang
memenuhi
persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan
bangunan, suatu
lingkungan pemukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan
bangunan sangat
tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan
tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan
penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
yang bersangkutan sebagai lingkungan pemukiman kumuh”.
2.3 UPAYA KESEHATAN
MASYARAKAT DI LINGKUNGAN KUMUH
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah dalam mengatasi masalah kawasan kumuh ini. Mulai dari program
pengentasan kemiskinan yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya kawasan
kumuh sampai kepada program-program yang lebih khusus. Pemerintah Pusat mencoba
menangani masalah kemiskinan dengan meluncurkan skema program seperti :
·
Jaringan Pengaman
Sosial (JPS)
·
Pembangunan
Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT)
·
Pemberdayaan
Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)
·
Penciptaan Lapangan Kerja Produktif (PLKP)
·
Poverty Alleviation through Rural-Urban Linkages
(Parul)
·
Program Ketahanan
Pangan (PKP)
·
Program Pengentasan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
·
Pendekatan
permukiman, telah dirancang dan dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah, di perkotaan maupun perdesaan, seperti misalnya Pembangunan Pemugaran
Perumahan Lingkungan Desa/Kelurahan Terpadu (P2LDT), Kartu Indonesia Pintar (KIP),
Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK) dan
lain-lain.
Semua
program ini dilaksanakan secara BLM (bantuan langsung kepada masyarakat). Sebagian
telah berjalan dengan baik namun sebagian yang lain belum mencapai hasil yang
optimal.
Untuk menanggulangi persoalan kawasan kumuh (slum dan squatter), perlu dikembangkan upaya peningkatan kemampuan
masyarakat dan membuka peluang agar mereka mampu memperbaiki kehidupannya dan
menjangkau permukiman yang lebih layak. Program-program diatas merupakan suatu
program yang pada dasarnya diarahkan pada upaya penyadaran dan peningkatan
kemampuan masyarakat sehingga komunitas masyarakat kumuh dapat “menggusur
dirinya sendiri”. Melalui program-program ini diharapkan Pemerintah dapat
dibantu dalam mengembangkan kebijakan dan program yang berkesinambungan bagi
penanganan permasalahan kawasan kumuh melalui berbagai pendekatan untuk
memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka. Melalui pendekatan-pendekatan
yang dilakukan, pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat bekerja bersama
untuk memperbaiki kondisi fisik, sosial dan ekonomi golongan masyarakat ini.
Namun yang
menjadi persoalan di sini adalah sudah tepatkah kebijakan program-program
tersebut diatas? Jangan-jangan malah akan menimbulkan semakin berdatangan kaum
migran sehingga semakin merebak pula persoalan kawasan-kawasan kumuh. Lalu,
model penanganan yang bagaimanakah yang betul-betul efektif untuk diterapkan,
agar sesuai dengan ”niat baik” pemerintah tersebut ? Ini masih memerlukan
jawaban lebih lanjut secara lebih seksama. Banyak realitas menunjukkan justru
bahwa upaya-upaya pembenahan yang dilakukan oleh pemerintah, dengan dalih
apapun, termasuk terjadinya penggeseran dan penggusuran tempat-tempat hunian di
kawasan kumuh diduga seolah-olah hanya memindahkan permasalahan yang sama dari
satu tempat ke tempat yang lain, dan ujungnya semata-mata nampak hanya
“menyengsarakan” masyarakat yang apabila merujuk kepada isi pasal-pasal dalam
peraturan perundangan-undangan yang ada di Indonesia sebagaimana
diantaranya disebutkan di atas justru merupakan kewajiban bagi pemerintah
bersama-sama dengan masyarakat untuk membenahinya.
Strategi penanganan
kawasan kumuh harus didasarkan pada upaya menanggulangi faktor-faktor yang
menyebabkan kekumuhan, baik faktor yang bersifat langsung maupun tidak
langsung. Pada hakikatnya penyelesaian permasalahan lingkungan kumuh tidak
dapat dilakukan oleh satu unit atau dinas, akan tetapi membutuhkan keterpaduan
kegiatan dari setiap dinas yang akan berdampak terhadap perbaikan lingkungan kumuh.
Strategi utama yang harus dilakukan dalam meningkatkan kualitas lingkungan
kumuh adalah Program Pengendalian lingkungan secara terpadu. Program
pengendalian lingkungan secara terpadu merupakan program yang di susun bersama
oleh setiap dinas yang mengarah pada penyehatan lingkungan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Program yang demikian dilaksanakan dibawah koordinasi
BAPPEDA dengan usulan oleh Dinas Lingkungan Hidup. Program ini penting
dilaksanakan mengingat upaya mengatasi faktor-faktor penyebab timbulnya
kekumuhan hubungan dengan sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum dan lain-lain.
Program pengendalian
lingkungan secara terpadu pada prinsipnya dapat didesain sebagai program yang
dilaksanakan secara terpisah oleh setiap dinas, akan tetapi setiap kegiatan memiliki
muatan yang mengarah pada upaya penanggulangan lingkungan kumuh. Untuk itu
langkah yang perlu dilakukan adalah rapat koordinasi yang mengikutsertakan
setiap dinas terkait dibawah koordinasi BAPPEDA untuk merumuskan
program-program yang mengarah kepada pengendalian lingkungan kumuh. Beberapa
program-program sebagai upaya pengendalian lingkungan kumuh adalah sebagai
berikut :
1. Penyuluhan Kesehatan Lingkungan
Penyuluhan kesehatan
lingkungan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
upaya menjaga kesehatan lingkungan dengan menerapkan pola hidup sehat sebagai
upaya menciptakan masyarakat yang sehat. Kegiatan ini dapat dilakukan bersama
oleh dinas lingkungan hidup dan dinas kesehatan. Kegiatan
penyuluhan dapat dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas posyandu atau
pengajian atau acara-acara sosial kemasyarakatan lainnya. Melalui kegiatan yang
dilaksanakan dalam lingkup kecil diharapkan masyarakat dapat memahami arti
penting perilaku
hidup yang sehat.
2. Pembinaan masyarakat sadar Lingkungan
Kegiatan ini berbentuk
kegiatan yang terpogram dan mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang sadar
lingkungan. Program yang demikian dilakukan dalam jangka panjang secara
bertahap. Hasil dari kegiatan ini diharapkan masyarakat memiliki kesadaran yang
tinggi tentang arti penting lingkungan hidup yang baik dan mayarakat mampu
secara mandiri mewujudkan lingkungan desa yang sehat dan lestari. Pelaksana
program ini adalah Dinas Lingkungan Hidup.
3. Pembangunan Infrastruktur Publik
Keterbatasan sarana dan
sanitasi lingkungan di Kawasan Kumuh perlu diatasi dengan pengadaan
infrastruktur sanitasi lingkungan. Infrastruktur yang dapat dibangun meliputi
MCK Umum, sumur air bersih, jalan lingkungan, drainase, dan bak-bak sampah mengingat
pemanfaat sarana ini adalah masyarakat, maka sebelum dilakukan pembangunan
sebaiknya telah ada program sosialisasi dan penyuluhan tentang arti penting
sarana sanitasi lingkungan tersebut. Selain itu sebelum pembangunan
dilaksanakan sebaiknya dinas pelaksana bersama masyarakat merumuskan
pengelolaan sarana tersebut, sehingga sarana yang dibangun termanfaatkan dan
terpelihara dengan baik.
Dengan demikian pelaksana
yang sesuai dengan program ini adalah Dinas Pekerjaan Umum.
4. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pemberdayaan ekonomi
masyarakat dapat dilakukan dengan pengadaan program-program pemberdayaan sesuai
dengan potensi karakteristik daerah. Untuk itu program yang dikembangkan setiap
lokasi dapat berbeda-beda. Secara riil program ini berbentuk pengembangan
potensi yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian program ini diarahkan untuk
membangun UKM berbasis masyarakat yang kuat sehingga mampu meningkatkan taraf
ekonomi.
Program ini meliputi
pelatihan (teari dan praktek) serta pendampingan. Dalam kegiatan pelatihan
perlu ada materi yang dikaitkan dengan upaya pengendalian lingkungan kumuh,
sehingga diharapkan peningkatan ekonomi yang diperoleh masyarakat sebagian akan
dimanfaatkan untuk perbaikan lingkungan kumuh. Dinas pertanian, perikanan,
peternakan, industri dan perdagangan merupkan dinas yang dinilai sesuai untuk
melaksanakan program ini.
5. Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat
Upaya mengatasi rendahnya
tingkat pendidikan yang menjadi faktor pendorong munculnya kawasan kumuh perlu
diatasi dengan melakukan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Upaya ini
dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu penambahan sarana pendidikan formal
dan pembangunan pendidikan non formal.
Penambahan sarana
pendidikan formal perlu didahului dengan pemetaan lokasi yang membutuhkan
sekolah secara tepat. Hal ini disebabkan beberapa lokasi kumuh memiliki jarak
yang cukup jauh dari sekolah. Pengembangan PKBM berupa paket A, Paket B dan
paket C dinilai akan mampu membantu pemerintah dalam menuntaskan program wajib
belajar 9 tahun di lima kecamatan lokasi studi pelaksanaan kegiatan ini menjadi
tanggung jawab Dinas Pendidikan.
6. Pengelolaan Kawasan Bantaran/ Sempadan (Sungai,
Pantai, Danau, Kereta api)
Pengolahan kawasan
bantaran / sempadan dapat dilakukan berupa penguatan peraturan tentang
pemanfaatan daerah bantaran / sempadan sebagai daerah konservasi. Kegiatan ini
diarahkan untuk mengatasi permasalahan rumah liar (squatter) di daerah Bantaran / Sempadan. Pola pendekatan yang
disarankan adalah menggunakan model partisipatif. Kegiatan ini dapat
dilaksanakan bersama antara Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan, PT. KAI,
dll.
7. Peningkatan Kesehatan Masyarakat
Salah satu permasalahan
yang terjadi dilokasi kumuh adalah menurunnya kesehatan masyarakat terutama
sebagai akibat penyakit yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan yang buruk.
Keterbatasan sarana kesehatan dan tenaga medis di beberapa kawasan kumuh perlu
diatasi dengan peningkatan sarana kesehatan dan tenaga medis. Pelaksana program
ini adalah Dinas Kesehatan.
Selain program-program
tersebut diatas, ada suatu program yang bersifat lebih spesifik yaitu
“peremajaan kota (urban renewal) biasanya dimaksudkan untuk mengubah daerah
perkampungan kumuh dengan mengisi dan membangun prasarana dan sarana yang
sesuai dengan peruntukan lahannya sehingga layak untuk dihuni penduduk maupun
untuk menampung aktivitas lainnya dan sekaligus memperindah penampilan (wajah)
kota. Prasarana dan sarana yang dimaksud bisa berupa perumahan, bangunan komersial,
jaringan air bersih, drainase, persampahan, jaringan air limbah, dan prasarana
lainnya. Bentuk kegiatan peremajaan kota tersebut antara lain :
1.
Pembangunan Rumah Susun
Pembangunan rumah susun
ini diprioritaskan pada kawasn-kawasan kumuh yang tingkat kekumuhannya sudah
sangat tinggi (K4) atau kondisi lingkungan permukiman yang sudah tidak layak
huni, dimana infrastruktur yang tersedia sangat terbatas, kepadatan bangunan
sangat tinggi, KDB tinggi, lahan terbatas, namun status lahan umumnya merupakan
lahan hak milik, dan berada di kawasan pusat kota.
Bangunan rumah susun ini
dilengkapi oleh beberapa fasilitas lingkungan seperti balai pertemuan, TK, SD,
lapangan parkir, listrik, air bersih, taman lingkungan, TPS, pengolahan limbah,
dll. Pembangunan dan pengelolaan rumah susun ini dilakukan oleh Pihak Perumnas
bekerjasama dengan Pemda. Penguasaan tanah dilakukan dengan sistem ganti rugi,
sedangkan sistem penjualannya dilakukan dengan pemberian subsidi terhadap
penduduk asli, dibandingkan dengan harga jual terhadap penduduk pendatang.
2.
Pembangunan Rumah Susun Sewa
Pembangunan rumah susun
sewa ini diprioritaskan pada kawasan-kawasan kumuh yang berada pada lahan-lahan
yang ilegal (bantaran sungai, taman kota, sempadan pantai, dll) yang umumnya
ditempati oleh kaum migran yang sebagian besar merupakan pekerja informal dan
buruh dengan tingkat pendapatan yang rendah. Selain diperuntukan bagi kaum squatter, model rumah susun sewa ini
dapat juga dilakukan untuk meremajakan kota pada kawasan kumuh dengan tingkat
kekumuhan cukup kumuh sampai sangat kumuh (K2 – K4). Bangunan rumah susun sewa
ini dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang (infrastruktur) seperti air bersih, pengolahan sampah (TPS),
pengolahan limbah, parkir, listrik, parkir, dll. Pelaksanaan pembangunan rumah
susun sewa ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah bekerjasama dengan
instansi terkait
lainnya. Pendekatan yang ditempuh terhadap masyarakat harus ditangani secara
terpadu dan bersama-sama. Selama proses pembangunan berlangsung masyarakat
penghuni mendapat jaminan berupa dana untuk pindah sementara, sedangkan setelah
selesai penghuni dibebankan harga sewa yang disesuaikan dengan kemampuan
masyarakat berdasarkan hasil kesepakatan bersama.
3.
Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RsH)
Untuk memudahkan
masyarakat berpenghasilan rendah, Pemerintah juga telah memberikan kemudahan
dalam memiliki Rumah Sederhana Sehat (RsH), melalui penerbitan Keputusan
Menteri Permukimaan dan Prasarana Wilayah Nomor. 24/KPTS/M/2003 tentang
Pengadaan Perumahan dan perrmukiman dengan dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan.
Pemerintah telah
menyempurnakan konsep rumah sederhana dan rumah sangat sederhana (RS dan RSS)
dengan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat / RsH) yang dituangkan dalam Keputusan
Menteri Kimpraswil Nomor 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Rumah Sederhana
Sehat. Dalam pedoman tersebut terdapat empat macam konstruksi bangunan rumah
yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, yang
semula hanya satu pilihan (rumah tembok) menjadi rumah jenis tembok, setengah tembok,
kayu tidak panggung, dan kayu panggung.
Program ini dirasakan
cocok untuk menangani kawasan kumuh (K2) yang menempati daerah-daerah bantaran/sempadan,
hal ini dimaksudkan untuk mengamankan bantaran / sempadan dari aktivitas yang
mengganggu fungsi lindung sekaligus mendistribusikan penduduk pada
daerah-daerah yang masih jarang penduduknya (tingkat kepadatan rendah).
4.
Program Perbaikan Kampung (KIP)
Program perbaikan kampung (KIP) merupakan program untuk memperbaiki
komponen infrastruktur dalam kampung. Program ini dilaksanakan secara terpadu
dengan sektor-sektor terkait. Kawasan kumuh yang mendapatkan prioritas program
ini yaitu kawasan kumuh dengan tingkat kekumuhan kurang kumuh (K1) sampai Kumuh
(K3), dimana infrastruktur terbatas atau kurang, sering terkena banjir atau
genangan, merupakan kampung-kampung tua, dan pendapatan perkapita masyarakat
rendah. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan mutu kehidupan, terutama
bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah melalui penataan lingkungan
dan peningkatan serta penyediaan prasarana dasar, sehingga akan meningkatkan
jumlah keluarga yang bertempat tinggal pada rumah-rumah yang layak huni dan
sehat. Teknis pelaksanaan program ini adalah perbaikan dan peningkatan sanitasi lingkungan,
rehabilitasi kualitas rumah menjadi rumah yang layak huni.
5.
Pembongkaran atau Penggusuran Rumah-Rumah Liar di Bantaran / Sempadan
Kegiatan ini bertujuan
untuk mengamankan bantaran / sempadan sebagai kawasan lindung (konservasi) dari
bahaya banjir disamping menjaga keindahan kota. Kegiatan ini diprioritaskan pada perumahan-perumahan kaum
migran (squatter) yang menepati
kawasan ini. Sebagai solusinya pemerintah harus menyediakan kawasan perumahan
sederhana pada lakosi-lokasi yang masih kosong (lahan tidak produktif). Kegiatan
yang dapat dilakukan berupa penertiban bangunan-bangunan liar di bantaran
sungai dan sempadan pantai sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang ada dan menata
serta mengembangkan daerah hijau disepanjang bantaran sungai dan pantai.
Program ini dapat diterapkan pada kawasan kumuh (K2) yang menempati
daerah-daerah dimana status lahannya bukan merupakan hak milik masyarakat. Hal
ini dimaksudkan untuk mengamankan sempadan/bantaran dari aktivitas yang mengganggu
fungsi lindung sekaligus mendistribusikan penduduk pada daerah-daerah yang
masih jarang penduduknya (tingkat kepadatan rendah).
6.
Program Land Consolidation
Program land consolidation adalah suatu
program penataan ulang kawasan permukiman di atas lahan yang selama ini telah
dimanfaatkan sebagai lokasi permukiman. Program land consolidation dapat digunakan apabila telah memenuhi
persyaratan antara lain :
a.
Tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti primer
pemilikan/ penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi.
b.
Tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan yang beragam
(tidak terbatas pada hunian).
c. Berpotensi untuk
dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang lebih strategis dari sekedar
hunian.
7. Resettlement (pemindahan penduduk)
Resettlement
adalah
suatu program penataan kawasan permukiman kumuh melalui pemindahan penduduk
yang biasanya memakan waktu dan biaya sosial cukup besar, termasuk kemungkinan
timbulnya keresahan bahkan kerusuhan oleh masyarakat. Pemindahan penduduk
dilakukan dikarenakan kawasan tersebut berada pada kawasan tidak layak sehingga
perlu direhabilitasi dan dapat memberikan nilai ekonomi, sosial, dan estetika
serta fisik lingkungan bagi kehidupan kota.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Pemukiman
kumuh adalah lingkungan hunian atau tempat tinggal/rumah beserta lingkungannya,
yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan sebagai sarana pembinaan keluarga,
tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, sarana dan
prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan serta sarana dan prasarana sosial
budaya masyarakat.
Penyebab utama pemukiman kumuh adalah kemiskinan sehingga banyak program-program
pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk mengatasi pemukiman kumuh sudah
banyak program-program yang dilakukan pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya
belum maksimal dan masih banyak kendala disana sini sehingga masalah pemukiman
kumuh inni sering menjadi masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah
kota/daerah maupun pemerintah pusat.
3.2 SARAN
Program yang dijalankan pemerintah harus dipertimbangkan apakah tepat atau
tidak diterapkan pada lingkungan kumuh sehingga program tersebut dapat mencapai
tujuan. Memaksimalkan kerja untuk mengentaskan masalah kemiskinan yang
merupakan faktor penyebab utama lingkungan kumuh sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal PWK Unisba 36 Strategi
Penanganan Kawasan Kumuh Sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan dan
Permukiman Yang Sehat
Evaluasi Pelaksanaan Peremajaan Kota, Departemen
Pekerjaan Umum, Cipta Karya, 1991.
Ketentuann dan Peraturan Perundangan Perumahan, Dinas
Perumahan, DKI Jakarta, 1994.
“Modul P3KT”, PU-Ciptakarya.
“Masalah Perumahan dan
permukiman”, Jurnal PWK-ITB, edisi
khusus Juli 1993, Bandung.
Nana Rukmana, “Manajemen
Pembangunan Prasarana Perkotaan”, LP3ES, 1993.
“Petunjuk Penyusunan Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu”, Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaan, 1989.
Ruslan Diwiryo, “Pembangunan Infrastruktur dan Pengembangan Kota dan Wilayah”, Bahan
Seminar Pengembangan Profesi Perencanaan, 1993 Jakarta.
“Standar Perencanaan Kota”, Departemen Pekerjaan Umum, 1987, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, Tentang Perumahan dan Permukiman.
Jurnal online